Untung saja Menteri Keuangan Sri Mulyani bukan seorang politisi. Pernyataan beliau yang mengatakan pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) menjadi beban negara telah menuai banyak kecaman, terutama dari para PNS dan pensiunan PNS.
Bagaimana tidak? Para pensiunan rata-rata telah mengabdi puluhan tahun dan tentu saja merasa telah berbuat banyak bagi negara.
Lalu, kok sekarang dibilang beban. Menyakitkan sekali bila misalnya setelah mengabdi sekian lama dipersepsikan sebagai "laskar tak berguna".
Coba saja kalau istilah "beban" dipelintir, dan yang menyatakan misalnya seorang yang berniat untuk maju pada pilpres mendatang, sangat mungkin elektabilitasnya akan anjlok.
Ya, secara umum, pemahaman masyarakat mengenai makna kata "beban" memang konotasinya negatif, sesuatu yang sebetulnya ingin dihindari.
Misalnya, jika ada seorang warga dari kampung yang pergi ke kota dan menumpang pada seorang familinya. Warga kampung tersebut tidak mau membantu apa-apa di rumah tersebut, hanya makan dan tidur saja.
Maka, dalam hal ini si warga kampung menjadi beban famili yang ditumpanginya. Namun, jika ia ikut membantu pekerjaan di rumah tersebut, kemungkinan tuan rumah tidak merasa terbebani, malah merasa senang.
Jadi, dari kacamata umum, pemakaian istilah "beban" atas pengeluaran negara yang harus dibayarkan kepada para pensiunan, memang kurang tepat.
Tapi, berhubung Sri Mulyani adalah seorang akademisi berlatar belakang pendidikan ilmu ekonomi, sebetulnya bisa juga dimaklumi. Ini sama sekali bukan keseleo lidah alias "slip of the tongue".
Dalam terminologi akuntansi, istilah "beban" dipakai secara luas sebagai terjemahan dari "expense" pada bahasa Inggris. Selain "beban", terjemahan yang juga lazim dipakai sama seringnya sebagai terjemahan "expense" adalah "biaya".
Namun, bisa jadi dalam pemahaman masyarakat secara umum, istilah biaya "lebih halus" daripada beban, sehingga jika Sri Mulyani mengatakan pensiunan itu menjadi biaya negara, ketersinggungan pensiunan mungkin tidak separah sekarang.