Perbincangan soal dua kelompok karyawan di sebuah perusahaan, kelompok introver dan ekstrover, lagi menghangat di kalangan pekerja muda di Indonesia.
Harian Kompas (27/7/2022) menuliskan fenomena tersebut dalam opini Anderas Maryoto berjudul "Mendengarkan si Pendiam". Tentu, maskud si pendiam adalah mereka yang cenderung introver.
Pengalaman saya selama ini di sebuah perusahaan milik negara yang tergolong papan atas, memang mereka yang berani bersuara terlihat lebih cemerlang kariernya.
Tentu, bersuara di sini maksudnya bukan ngeyel atau ngotot, apalagi rajin melontarkan kritik pada atasan.
Tapi, bersuara pada forum rapat yang dihadiri atau dipimpin oleh Direksi dan yang disuarakan sesuatu yang bersifat positif.
Contoh yang positif tersebut bisa menceritakan keberhasilannya dalam menjalankan perintah atasan atau ide-ide baru untuk kemajuan perusahaan.
Orang tipe ekstrover seperti tidak sabar menanti kesempatan tanya jawab dibuka pada setiap rapat dengan Direksi.
Dengan demikian, bila si ekstrover jadi pusat perhatian dari para pimpinan, menjadi hal yang wajar saja.
Dampak lanjutannya, karier si "besar suara" juga lebih moncreng. Soalnya, ketika Direksi berencana mempromosikan beberapa staf senior untuk jadi pejabat lapisan menengah, otomastis yang terbayang di mata Direksi orang-orang yang berani berbicara.
Nah, sekarang coba kita lihat gaya si pendiam. Mereka lebih banyak menyimak dan mengharagai pendapat orang lain. Ia enggan rebutan berbicara, kecuali bila diminta secara khusus untuk menanggapi sesuatu.
Padahal, ide si pendiam karena banyak mendengar, bisa lebih bagus karena menghimpun beberapa ide atau malah memberikan beberapa catatan atas ide orang lain.