Social engineering yang sekarang biasa disingkat dengan "soceng" adalah rekayasa sosial melalui aktivitas manipulasi psikologi. Tujuannya adalah mengelabui pengguna aplikasi media sosial tertentu.
Jika pengguna aplikasi mengikuti apa yang dimaui pihak pembuat soceng, maka data yang bersifat rahasia dari pengguna aplikasi bisa berpindah tangan ke pihak yang tidak berhak mengetahuinya.
Selanjutnya, gampang diduga, akan timbul kerugian bagi pengguna aplikasi yang telah dikelabui dan menjadi keuntungan bagi pembuat soceng.
Dari materi edukasi konsumen yang dibuat Otoritas Jasa Keungan (OJK), dijelaskan tentang 4 modus soceng yang sekarang lagi marak.
Pertama, berupa informasi perubahan tarif transfer yang seolah-olah merupakan kebijakan baru dari sebuah bank.
Untuk meyakinkan, biasanya disertai foto surat yang kopnya ada logo resmi bank serta ditandatangani oleh direktur bank tersebut. Tentu, surat tersebut palsu.
Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa tarif transfer yang tadinya dikenakan setiap kali mentransfer, diubah menjadi tarif tetap, katakanlah Rp 150.000 per bulan tanpa melihat berapa kali melakukan transfer.
Jelas, bagi nasabah yang dalam sebulan rata-rata mentransfer hanya 2-3 kali, sangat dirugikan. Bagi nasabah yang keberatan, diminta mengklik tautan yang disertakan pada info tersebut.
Nah, di sinilah data rahasia nasabah diminta untuk dientri, yang akhirnya akan menjadi sasaran empuk pelaku soceng untuk dibobol rekeningnya.
Kedua, berupa informasi pada nasabah dari suatu bank yang tertarik menjadi nasabah prioritas. Biasanya, nasabah prioritas ini mendapat fasilitas yang khusus diberikan pada mereka yang rekeningnya punya saldo besar, misalnya di atas Rp 500 juta.