Pagi ini, ketika istri saya mau menghidupkan kompor gas, tiba-taba apinya tidak bisa menyala. Eh, sebetulnya bukan tiba-tiba, karena gas elpiji 12 kg yang kami gunakan memang sudah satu bulan pakai.
Selama ini, rata-rata kami menghabiskan gas 12 kg untuk sekitar 4 hingga 5 minggu. Jadi, saatnya saya memesan gas lagi ke penyalur gas langganan kami.
Begitu saya kirim pesan singkat ke si penyalur karena saya sudah punya nomor telpon genggamnya, langsung dapat informasi bahwa harga gas sekarang sudah naik lagi.
Ya ampun, seingat saya, dalam setahun terakhir ini, gas elpiji 12 kg sudah mengalami kenaikan harga sebanyak tiga kali. Kok, naik melulu, sih? Memangnya harus naik berapa kali?
Kalau tidak salah ingat, pada akhir tahun 2021 lalu, gas elpiji sudah naik harganya dari Rp 150.000 untuk ukuran 12 kg menjadi Rp 175.000.
Itu berdasarkan harga yang saya bayar ke penyalur yang petugasnya datang mengantarkan langsung satu tabung gas begitu saya memesan.
Jadi, bukan harga yang diumumkan pemerintah. Biasanya, harga di level penyalur lebih mahal sekitar Rp 10.000 ketimbang harga resmi menurut pemerintah.
Kemudian, rasanya tidak lama setelah itu, kembali harga gas elpiji naik menjadi Rp 200.000. Nah, sekarang baru saja si penyalur mengatakan harganya jadi Rp 225.000.
Biasanya, setelah si pengantar gas datang, saya juga memberi sedikit tips bagi pengantar tersebut, karena ia sekaligus memasang tabung gas agar terhubung ke kompor gas dalam kondisi yang siap pakai.
Soalnya, kalau saya atau istri yang memasang, adakalanya bermasalah di karet yang ada di tutup gas, sehingga bisa menimbulkan bunyi mendesis yang bisa mengundang bahaya.
Oke, balik lagi ke harga gas, kalau ditanya ke versi pemerintah atau Pertamina sebagai perusahaan milik negara yang memproduksinya, tentu yang disebut sebagai alasan kenaikan harga, adalah karena kondisi ekonomi global.