Tulisan ini diawali dengan ucapan "Selamat Idul Adha" bagi semua pembaca yang merayakannya, baik yang melakukannya kemarin (9/7/2022) maupun hari ini (10/7/2022).
Idul Adha disebut juga sebagai hari raya kurban. Dengan semangat berkurban, sebagian dari kita yang punya kemampuan, berbagi makanan dengan saudara-saudara kita yang kurang mampu.
Berbicara tentang Idul Adha, tentu banyak sekali nilai-nilai keteladanan dari kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang menjadi asal muasal lahirnya perintah berkurban dalam ajaran agama Islam.
Barangkali soal keteladanan dalam berbagi secara materi, bangsa Indonesia terkenal dengan kedermawanannya. Tak heran, jumlah hewan kurban di negara kita relatif banyak.
Demikian pula dalam memberikan donasi kepada yayasan tertentu untuk disalurkan kepada warga yang membutuhkan, relatif tidak sulit dalam mengumpulkan dana.
Tapi, dari sisi yang bersifat non-materi, seperti bagaimana membangun karakter bangsa agar punya ketahanan mental yang baik, relatif masih banyak yang perlu diperbaiki.
Justru, kalau mau jujur, kita lagi mengalami krisis keteladanan yang harus segera ditambal, agar generasi muda sebagai penerus bangsa bisa terselamatkan.
Seperti yang sering dikatakan para penceramah agama, sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat pada orang lain. Dengan kata lain, seburuk-buruk manusia adalah yang mencelakakan orang lain.
Nah, manfaat tersebut bukan semata memberikan materi, tapi juga termasuk membangun mental. Jika kita memberi contoh yang salah, jatuhnya malah mencelakakan anak cucu kita.
Contoh yang salah itu ironisnya dilakukan oleh figur terhormat yang harusnya dimuliakan, seperti guru di sekolah atau pengasuh pondok pesantren.
Jangan kaget, beberapa hari terakhir ini media massa dihebohkan oleh berita tindak pidana kekerasan seksual atau aksi pencabulan di beberapa pondok pesantren.