Ibu kota lebih kejam dari ibu tiri? Ini sebuah ungkapan yang sangat populer di dekade 1970-an. Ketika itu sebuah film nasional berjudul "Ratapan Anak Tiri" meledak di pasaran.
Para penonton terbuai dan mandi air mata, larut dengan kesedihan kisah di film yang menggambarkan kekejaman seorang ibu tiri tersebut.
Nah, ternyata kisah para perantau yang mengadu nasib untuk mencari sesuap nasi di Jakarta, lebih mengenaskan lagi. Makanya, istilah "ibu kota lebih kejam dari ibu tiri" pun jadi terkenal.
Ironisnya, jika ibu kota memang kejam, seharusnya tidak menjadi magnet bagi para pendatang. Namun, sampai sekarang Jakarta masih menjadi kota yang paling banyak dijadikan tujuan para perantau untuk meraih impiannya.
Soalnya, secara ekonomi, DKI Jakarta itu memang gudang uang, dalam arti mayoritas uang yang beredar di negara kita, terpusat di Jakarta dan sekitarnya.
Jadi, sekadar dapat remah-remahnya saja, itu sudah mampu menghidupi satu keluarga yang tinggal di gang sempit, atau bahkan di gubuk reot di bantaran sungai.
Jangan kira para pemulung yang rajin menyusuri jalanan ibu kota hidupnya miskin, karena ada yang punya rumah bagus di kampungnya dari hasil memulung di ibu kota.
Demikian juga juru parkir liar, pengamen, pedagang kaki lima, pedagang keliling, dan berbagai jenis pekerjaan informal lainnya. Jakarta menjadi "madu" bagi orang daerah.
Tapi, syaratnya harus tahan banting, tidak malu melakukan pekerjaan yang dinilai kasar, bahkan mungkin bagi orang lain dianggap menjijikkan.
Belum lagi yang merasakan nikmatnya jadi preman dengan menguasai area tertentu. Bagaimanapun, preman Jakarta lebih ditakuti dari preman daerah (meskipun yang jadi preman orang asal daerah).
Jangan tanya bagaimana kehidupan para crazy rich ibu kota, yang hidup bergelimang uang. Bukannya tadi sudah disebutkan bahwa Jakarta itu gudang uang.