Di Payakumbuh, sekitar tahun 80-an, ada seorang wartawan yang memberikan nama "O" kepada anaknya. Ya, hanya satu huruf, bukan satu kata.
Kalau nama seseorang berupa gabungan huruf dalam satu kata, dulu merupakan hal yang lazim di Indonesia. Bukankah 2 orang Presiden RI namanya satu kata saja, yakni Soekarno dan Soeharto.
Dua orang adik saya punya nama asli yang satu kata. Kebetulan, ketika saya sudah kuliah, saya pernah membaca berita koran yang menyatakan bahwa untuk nama di paspor, sebaiknya minimal terdiri dari dua kata.
Untung saja kedua adik saya waktu itu belum tamat SD, sehingga atas usul saya, nama keduanya ditambah dengan nama ayah. Nama baru itulah yang tercantum pada ijazah SD-nya dan digunakan seterusnya dalam dokumen apapun.
Nah, sekarang ternyata pemerintah sampai turun tangan mengatur nama seseorang. Ada aturan baru nama di KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang mencakup hal-hal berikut ini.
Pertama, nama yang tercantum dalam KTP dan dokumen kependudukan lainnya, paling sedikit terdiri dari dua kata.
Kedua, nama di dokumen kependudukan paling banyak terdiri dari 60 huruf. Jumlah huruf ini sudah termasuk spasi. Contohnya, Ali Baba, sudah dihitung sebagai 8 huruf atau 8 karakter.
Ketiga, pencatatan nama pada dokumen kependudukan harus mudah dibaca, tidak bermakna negatif, dan tidak multitafsir.
Aturan baru KTP tersebut mungkin bagi sebagian orang dianggap berlebihan, kok pemerintah sampai "mengintervensi" pemberian nama seseorang.
Bukankah itu hak kedua orangtua dari seorang bayi yang baru dilahirkan, untuk memberi nama apa saja yang disukainya. Apalagi, nama dari orang tua bisa dimaknai sebagai doa atau harapan orang tua terhadap anaknya.
Tapi, selain sebagai doa, tak jarang kita menemui nama yang aneh-aneh (dilihat dari kacamata umum).