Kompas.id (11/5/2022) memberitakan tentang lobi-lobi politik terkait pengisian penjabat kepala daerah yang belakangan ini semakin gencar dilakukan sejumlah pihak.
Di balik lobi-lobi politik itu, ditengarai ada kepentingan terkait pemenangan pemilu dan pilkada serentak yang akan digelar pada 2024 mendatang.
Seperti diketahui, sebanyak 101 jabatan kepala daerah akan berakhir pada 2022 ini, yang terdiri dari 7 gubernur, 76 bupati dan 18 wali kota.
Kemudian, pada 2023 berlanjut dengan giliran 171 kepala daerah yang berakhir jabatannya, terdiri dari 17 gubernur, 115 bupati, serta 39 wali kota.
Dengan demikian, terdapat 272 penjabat kepala daerah yang akan ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagai penganti kepala daerah yang habis masa jabatannya tersebut, sebelum digelarnya Pilkada Serentak 2024.
Tahun ini, 7 gubernur yang harus meletakkan jabatan adalah Anies Baswedan (DKI Jakarta), Nova Iriansyah (Aceh), Erzaldi Rosman Djohan (Bangka Belitung), Wahidin Halim (Banten), Rusli Habibie (Gorontalo), Muhammad Ali Baal Masdar (Sulbar), dan Dominggus Mandacan (Papua Barat).
Pilkada serentak menjadi pilihan agar pelaksanaan pemilu bisa lebih efisien. Akibatnya ada masa jabatan yang lowong sekitar 2 tahun (bagi kepala daerah yang habis masa tugasnya di tahun ini), yang akan diisi oleh pejabat yang ditunjuk.
Masa 2 tahun bukan masa yang sebentar. Banyak hal yang bisa dilakukan selama masa tersebut. Maka, jika ada yang melobi agar dirinya atau orang dari kelompoknya mendapat penunjukan, tentu cukup logis.
Masalahnya, dengan mekanisme penunjukan langsung, jelas sisi demokratisnya berkurang, karena bagaimanapun hal tersebut bukan pilihan rakyat.