Bahwa masyarakat perkotaan sejak beberapa tahun terakhir ini keranjingan memesan makanan secara online, bukanlah hal yang aneh lagi.
Tapi, siapa bilang budaya serba instan kaum rebahan tersebut tidak menular ke desa-desa? Bukankah sekarang orang desa pun selalu memegang gawai dan jaringan internet sudah menjangkau desa-desa?
Baru-baru ini, karena ada keperluan keluarga, saya dan istri berkunjung ke desa kelahiran istri saya di Kecamatan Akabiluru, Kabupaten 50 Kota, Sumatera Barat.
Istri saya merasa heran, ketika sudah mulai sore, pihak tuan rumah tempat kami bersilaturahmi, yang merupakan "etek" (adik ibu dalam bahasa Minang) dari istri saya, tidak terlihat tanda-tanda mau memasak ke dapur untuk menyiapkan makanan berbuka puasa.
Tak lama setelah itu, etek yang memang sudah tak kuat bekerja di dapur (usianya sudah mendekati 80 tahun), bertanya ke salah seorang anak perempuannya, mau memasak apa hari ini.
Nah, terjadilah perdebatan antara ibu dan anak. Si anak rupanya memilih untuk memesan makanan saja melalui aplikasi tertentu di gawainya.
Si ibu pun mengatakan keberatannya karena toh mereka punya bahan persediaan untuk dimasak. Buat apa membeli jika bisa memasak sendiri.
Si Anak yang juga seorang guru SD tak jauh dari tempat tinggalnya justru berpendapat sebaliknya, buat apa memasak jika bisa dengan gampang memesan makanan.
Perlu diketahui, desa tersebut merupakan desa agraris yang subur. Selain padi, desa itu juga penghasil tomat dan cabai merah. Dulunya, etek dan almarhum suaminya adalah petani yang ulet.
Saya tidak tahu berapa banyak warga di kampung halaman istri saya itu yang mulai ketagihan memesan makanan ketimbang memasak sendiri.
Tapi, melihat di jalan raya desa itu, yang merupakan penghubung antara kota Payakumbuh dan Bukittinggi, cukup banyak warung penjual makanan, dugaan saya tentu karena ada konsumennya.