Saat saya menulis tulisan ini, puasa sudah memasuki hari ke-17. Seperti juga tahun-tahun sebelumnya, semakin mendekati lebaran, jamaah salat tarawih yang saya lihat di masjid dekat rumah saya semakin menyusut.
Bila di awal puasa jamaah laki-laki ada 6 atau 7 saf (baris), sekarang tinggal 2 atau 3 saf saja. Konsistensi untuk melaksanakan salat tarawih berjamaah setiap malam memang tidak gampang.
Saya ingat ketika dekade 70-an dan 80-an, masjid dan musala relatif belum banyak jika dibandingkan yang kita temukan sekarang. Hal itu berlaku baik di kota maupun di desa.
Nah, ketika itu, biasa saja melihat jamaah salat tarawih melimpah sampai ke halaman masjid. Tapi, hal ini hanya terjadi pada minggu pertama puasa. Setalah itu mulai menyusut.
Saat ini, selain masjid yang dibangun pada lahan khusus, banyak pula mal, rest area jalan tol, kantor, sekolah, kampus, dan tempat publik lainnya yang menyediakan fasilitas masjid. Atau, paling tidak, ada musala.
Bahkan, tak sedikit orang kaya yang membangun masjid dengan dana pribadi. Demikian pula pemerintah daerah, seakan-akan antar daerah berlomba membangun masjid luas dan megah.
Bupati atau wali kota membangun masjid bagus bisa saja sekadar untuk gengsi daerah atau untuk memenuhi janji saat kampanye. Tapi, intinya sekarang semakin banyak jumlah masjid yang representatif.
Tak heran, masjid megah sangat gampang dijumpai dan adakalanya menjadi objek wisata religi tempat pengunjung berfoto dan diunggah di media sosial.
Jadi, kalau dulu masjid tidak kuat menampung jamaah, bahkan sampai luber ke halaman masjid di awal bulan puasa, sekarang menjadi biasa melihat masjid besar dengan jamaah yang relatif sedikit.
Atau, bisa jadi jumlah jamaahnya lumayan banyak. Cuma, karena saking besarnya masjid, sehingga jamaah yang banyak itu tadi jadi terkesan sedikit.
Mungkin ada masjid tertentu masih mengalami jamaah yang luber terutama di minggu pertama bulan suci Ramadan. Tapi, secara umum, karena saking banyaknya masjid, mulai jarang terlihat jamaah yang luber.