Saya tidak tahu kondisi sekarang, tapi kalau dulu, seperti di era Orde Baru dan awal masa reformasi, merupakan hal biasa sebuah pesawat yang telah siap berangkat, tapi masih saja nongkrong di bandara.
Penumpang sudah pada resah, tapi belum ada tanda-tanda mau take-off. Pengumuman dari awak pesawat pun tidak ada, apakah ada sesuatu yang membuat pesawat terlambat mengudara.
Kemudian, kira-kira setengah jam setelah jadwal keberangkatan terlampaui, tahu-tahu ada pejabat penumpang kelas bisnis yang naik.
O ini toh yang ditunggu-tunggu, sampai-sampai jadwal take-off tertunda puluhan menit. Penumpang yang lain gampang menebak bahwa sosok yang ditunggu itu adalah seorang pejabat.
Soalnya, pada era Orde Baru sudah lazim pejabat berbaju model safari. Lagipula, terlihat ada petugas protokoler yang mengiringi hingga si pejabat naik tangga pesawat.
Nah, yang "sakti" karena mampu "menahan" pesawat, sebetulnya bukan si pejabat yang terlambat itu, tapi justru petugas protokoler yang sudah punya pas masuk bandara, meskipun ia bukan penumpang.
Biasanya, kisah seperti ditulis di atas terjadi di bandara berbagai daerah, dimana hubungan baik antara pejabat daerah dengan pihak bandara "sangat baik".
Demikian pula petugas protokol yang mengurus kedatangan dan keberangkatan seorang pejabat (misalnya pejabat pusat yang berkunjung ke daerah), sudah sangat familiar dengan orang-orang penting di bandara setempat.
Mungkin juga ada ketakutan pihak bandara dan juga pihak kepala cabang dari maskapai penerbangan di daerah, bila "dimusuhi" oleh pejabat di daerah tersebut, akan menyulitkan jika nanti ada hal yang perlu dikoordinasikan.
Perlu diingat, di era orde baru, selain Garuda, masih ada maskapai lain yang juga bersatus milik negara dan milik perusahaan yang dekat hubungannya dengan pemerintah.
Peran maskapai tersebut cukup strategis, karena untuk beberapa daerah pelosok, menjadi satu-satunya maskapai yang terbang ke sana.