Pada tahun 2021 lalu, dari awal Januari hingga pertengahan Juli, saya ada sedikit "objekan" di sebuah lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang berkantor di Jalan Veteran, Jakarta Pusat.
Ketika itu para karyawan di sana bekerja dengan menerapkan sistem work from office (WFO) dan work from home (WFH) secara bergantian.
Jika ada seorang karyawan yang terpapar Covid-19, maka semua pekerja pada lantai yang sama tidak boleh masuk kantor selama 3 hari, yang berarti semuanya WFH.
Gedung kantor itu terdiri dari 4 lantai. Pernah suatu kali, ada saja "perwakilan" masing-masing lantai yang terpapar, sehingga kantor tutup selama 3 hari.
Sedangkan untuk si karyawan yang terpapar, setelah hasil lab menyatakan negatif, masih perlu menunggu 2 minggu, baru boleh ikut WFO.
Kalau tidak salah, jumlah karyawan di sana (termasuk pejabatnya) berjumlah sekitar 100 orang, di antaranya ada sekitar 25 orang berstatus pekerja outsource.
Yang ingin saya ceritakan di sini adalah bagaimana kebijakan yang diambil oleh direksi di LKBB tersebut dalam rangka meminimalkan dampak pandemi Covid-19 terhadap para karyawan dan keluarganya.
Pengendalian tersebut menjadi hal yang penting dan harus mendapat prioritas utama. Tidak saja karena memenuhi ketentuan dari pemerintah, tapi juga berkaitan dengan kinerja perusahaan.
Logikanya, jika karyawan semuanya sehat, pekerjaan juga akan terlaksana dengan baik, sehingga target perusahaan bisa dicapai. Sebaliknya, jika banyak karyawan yang tidak sehat, pasti akan mengganggu kinerja perusahaan.
Nah, dalam rangka pengendalian pandemi itu, pihak manajemen perusahaan mau tak mau mengeluarkan sejumlah biaya yang bisa jadi termasuk kategori "biaya tidak terduga".