Selama ini, di kebanyakan sekolah di negara kita, sangat gampang mengidentifikasi anak yang pintar dan anak yang tidak pintar. Tentu juga ada yang biasa-biasa saja, maksudnya tidak begitu pintar tapi juga tidak bodoh.
Citra anak pintar adalah mereka yang rajin belajar, kutu buku, penghafal yang baik, dan langganan mendapat peringkat 5 besar di kelas.
Sebaliknya citra anak yang kurang pintar adalah mereka yang bandel, malas belajar, kalau ujian sering mencontek, sering kelayapan, dan tingkah laku lainnya yang kurang disukai guru.
Padahal, nantinya setelah mereka dewasa dan terjun di dunia kerja, ceritanya sebagian besar akan berbeda. Maksudnya, si anak pintar bisa saja tidak menonjol dalam karirnya, tapi si anak bandel ini bisa sukses.
Di mana letak kesalahannya? Itu karena yang diasah di sekolah lebih banyak berupa ilmu pengetahuan (knowledge). Dengan nilai rapor yang bagus atau indeks prestasi akademik yang tinggi, memang anak pintar berpeluang dapat pekerjaan yang baik.
Namun, begitu sudah bekerja, faktor knowledge itu bukan lagi menjadi penentu keberhasilan untuk mencapai posisi yang lebih tinggi.
Mereka yang bisa masuk jalur cepat untuk promosi di sebuah instansi atau di perusahaan yang besar, adalah mereka yang punya skill (keahlian) yang mumpuni dan attitude (sikap dan tingkah laku) yang sesuai dengan tuntutan pekerjaan.
Yang dituntut itu bukan karyawan yang bisa menghafalkan visi dan misi perusahaan, tapi yang mampu mengaplikasikan visi dan misi itu dalam memenuhi target yang dibebankan atasannya.
Target itu bisa berupa penambahan jumlah pelanggan, omzet penjualan yang meningkat, peluncuran produk baru, melebarkan sayap ke daerah baru, dan sebagainya.
Makanya, karyawan yang punya networking yang luas, luwes dalam bergaul, cermat dalam mengambil keputusan, jago dalam bernegosiasi, menjadi modal untuk mencapai target, bahkan bisa melampauinya.
Ternyata, sebagian anak yang dulu dikenal "bandel" dan menemukan jalan yang benar, dari pengalamannya telah memberinya bekal yang nantinya bermanfaat di dunia kerja.