Tanpa terasa saya sudah 35 tahun menjadi warga DKI Jakarta, tepatnya sejak saya diterima bekerja di kantor pusat sebuah BUMN.
Karena rumah Om saya tempat saya pertama kali menumpang di Jakarta, berada di Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan, maka otomatis saya pun menjadi anak Jaksel.
Saya sempat beberapa kali pindah rumah, awalnya ke Mampang Prapatan (masih di Jaksel), kemudian menempati rumah dinas di Jalan Pramuka (Jakarta Pusat), kemudian berdinas di Denpasar, Bali, pada 1996-1997.
Setelah itu saya balik lagi ke kantor pusat dan tinggal di Jaksel lagi, awalnya di rumah mertua, kemudian membeli rumah sendiri di Kecamatan Tebet.
Nah, ketika membeli rumah untuk ditempati pada akhir 2002, saya punya dua pilihan sesuai dengan budget yang saya punya. Mau rumah yang ukurannya kecil di lahan yang sangat terbatas di Tebet, atau lahan yang luas tapi bukan lagi masuk DKI Jakarta.
Ternyata yang namanya manusia sulit untuk merasa puas. Saya sendiri iri dengan teman-teman saya yang tinggal di rumah luas dan mewah di Bekasi, Depok, Bogor, dan Tangerang.
Namun, entah basa-basi atau serius, teman-teman saya itu iri kepada saya yang punya rumah di Tebet, yang relatif dekat ke mana-mana.
Kalau sekarang sebagian anak Jaksel merasa sebagai anak yang eksklusif, lebih gaul, dan punya bahasa yang banyak disisipi bahasa Inggris, jelas saya dan anak-anak saya merasa bukan bagian dari itu.
Apalagi, ketika dekade 80-an dulu, saat saya baru di Jakarta, menurut saya gengsi Jaksel belum sehebat Jakpus. Anak Menteng yang berada di Jakpus jelas lebih membanggakan.
Radio Prambors yang lagi ngetop saat itu juga berada di Jakpus. Prambors itu singkatan Prambanan dan Borobudur, nama jalan tempat markas radio tersebut.
Tempat anak gaul Jaksel nongkrong ketika itu hanya di seputar Bulungan, Lintas Melawai dan Terminal Blok M, belum sesuatu yang "wah".