Pada peringatan Hari Antikorupsi 2021 yang jatuh pada 9 Desember lalu, publik perlu diingatkan kembali bahwa yang namanya korupsi itu sangat luas cakupannya.
Menerima hadiah pun yang diduga ada kaitannya dengan jabatan yang disandang seseorang, dapat digolongkan sebagai gratifikasi. Gratifikasi itu sendiri merupakan salah satu "cabang" dari korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mengimbau masyarakat untuk tidak memberikan gratifikasi dalam bentuk apa pun kepada pegawai negeri dan penyelenggara negara.
Namun, mungkin sosialisasi dari KPK belum dipahami oleh semua lapisan masyarakat. Apalagi, budaya memberikan sesuatu kepada aparat pemerintah yang melayani kebutuhan wargannya, adakalanya dianggap lumrah.
Pemahaman banyak orang, jika si aparat yang meminta sejumlah uang agar permintaan warga baru dipenuhi, dan uang tersebut bukan tarif resmi yang pakai tanda terima, bisa disebut sebagai pungutan liar (pungli).
Terhadap pungli tersebut, semua orang rasanya sepakat sebagai sesuatu yang salah. Masalahnya, sebagian warga kadang tak berdaya, sehingga mau tak mau akan memberikan uang pungli itu.
Tapi, jika warga yang dilayani merasa puas dan tanpa diminta si aparat, warga memberi tanda terima kasih, sebagian orang masih menganggap hal yang wajar.
Bahkan, tak sedikit warga yang memberi duluan sebelum si aparat melayani, dengan maksud agar warga tersebut mendapat keistimewaan menerima layanan super cepat. Ini juga jelas-jelas salah, karena dapat ditafsirkan sebagai sogokan.
Tulisan ini lebih fokus kepada pemberian hadiah, atau sekadar oleh-oleh, kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Dalam pandangan masyarakat secara umum, memberi oleh-oleh tidak sama dengan memberi sogokan. Bagi aparat penerima juga dianggap bukan pungli.
Bahwa hal itu sangat mungkin termasuk gratifikasi dan gratifikasi itu termasuk korupsi, ini yang tidak disadari masyarakat.