Setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia sesuai dengan yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peringatan tersebut sudah dimulai sejak 2005.
Jelaslah, korupsi tidak saja jadi masalah besar di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain, terutama yang masih berstatus negara berkembang.
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 lalu berada di peringkat ke-5 di Asia Tenggara dengan skor 37 dari skala 0-100. Semakin kecil skornya, semakin korup negara tersebut.
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Timor Leste, merupakan negara-negara Asia Tenggara yang berada di peringkat 1 sampai 4. Artinya, negara-negara tersebut lebih bersih dari Indonesia.
Dikalahkan Timor Leste, yang nota bene selama 24 tahun pernah menjadi provinsi ke-27 di Indonesia, tentu membuat kita malu diri.
Tapi, okelah, terlepas dari perbandingan dengan negara lain, yang penting adalah bagaimana menjadikan Indonesia semakin membaik pemberantasan korupsinya dari tahun ke tahun.
Masalahnya, tanpa mengurangi apresiasi kepada berbagai institusi penegak hukum yang telah berhasil menangkap banyak sekali koruptor, ada hal yang membuat kita agak pesimis.
Mungkin karena makin banyak koruptor yang tertangkap, sehingga ada kesan bagi koruptor itu sendiri penangkapan bukan hal yang menakutkan. Anggap saja lagi apes.
Masyarakat pun seolah-olah menganggap biasa saja berita operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK. Mungkin karena saking seringnya, pejabat yang kena OTT silih berganti, semuanya bukan lagi berita yang hangat.
Belum lagi kalau kita bicara praktik korupsi yang masih belum terungkap, mungkin lebih banyak lagi yang pelakunya masih merasa aman-aman saja.