Terkait dengan AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome), sering kita mendengar kampanye dari pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat tertentu agar kita menjauhi penyakitnya, bukan menjauhi orangnya.
Memang, AIDS bukanlah penyakit keturunan, tapi didapat dari orang lain yang lebih dahulu terkena AIDS. Tapi penularannya tidak segampang yang diduga, sehingga masyarakat sebaiknya tidak mengucilkan penderita AIDS.
Menurut dr. Otniel Budi Krisetya di situs alodokter.com, Human Immunodeficiency Virus (HIV) bisa menular melalui pertukaran cairan tubuh, seperti cairan sperma, cairan vagina, cairan anus, darah dan air susu ibu (ASI).
HIV itu sendiri jika diterjemahkan kira-kira artinya virus yang merusak sistem kekebalan tubuh. HIV yang tidak segera ditangani akan berkembang menjadi AIDS, yakni semacam stadium akhir dari infeksi HIV.
HIV tidak dapat menular melalui keringat atau urin. Demikian pula karena menggunakan alat makan bersama, menggunakan toilet bersama. Bahkan, bersalaman dan berpelukan pun tidak menularkan HIV.
Jadi, kalau kita menggunakan piring atau gelas bekas pengidap HIV yang telah dicuci terlebih dahulu, tidak usah khawatir.
Tapi, seorang istri yang sehari-hari hanya di rumah, namun punya suami suka "jajan" dan terkena HIV, bisa jadi akan tertular. Kalau si istri tertular, bayinya yang masih minum ASI bisa terkena pula.
Kelak, bila si bayi itu sudah masuk sekolah, lalu teman-temannya entah dari mana mengetahui soal penyakitnya, ada kemungkinan dikucilkan. Inilah yang perlu ditanamkan kepada anak-anak, tindakan pengucilan itu keliru.
Jika tidak ada yang mau berteman dengan pengidap HIV, tentu akan mendatangkan trauma psikologis yang akan memperparah kondisinya.
Jangan pula langsung menganggap penderita HIV yang sudah dewasa sebagai bukan orang baik-baik dan lagi menerima hukum karma.
Toh, andaipun ada yang memang sakit karena kenakalannya sendiri di masa lalu, bukankah setiap orang berhak memperbaiki dirinya?