Bagi mereka yang bekerja sebagai orang kantoran, tentu sudah memahami liku-liku birokrasi yang lazim diterapkan, terutama di instansi pemerintah dan perusahaan milik negara atau milik pemerintah daerah.
Gaya atasan dalam memberikan instruksi terkesan masih bergaya feodal, yang harus dijawab oleh anak buah dengan: "siap, bapak". Demikian pula praktik senioritas di kantor, meskipun sudah mulai berkurang, tapi masih saja terjadi.
Di kantor-kantor tersebut di atas, kurang lazim anak buah melakukan nego gaji dengan atasannya atau dengan unit kerja yang menangani sumber daya manusia.
Tapi, tetap ada kelompok karyawan yang dinilai berkinerja cemerlang dan cepat mendapat promosi jabatan. Hal ini identik dengan adanya kenaikan gaji dan fasilitas, seiring dengan bertambahnya tanggung jawab dan kewenangan.
Nah, para senior yang dilangkahi junior bisa saja kecewa. Lalu, si senior mengeluarkan komentar yang bernada sakit hati dan menyerang pribadi si junior yang naik pangkat dan jabatan.
Komentar tersebut biasanya dilakukan tanpa setahu si junior. Namun, akhirnya secara tak sengaja terdengar juga oleh orang yang diomongkan, atau ada yang menyampaikan kemudian kepada si junior.
Mendapat komentar miring, tentu si junior tidak senang. Jadi, baik senior yang dilangkahi maupun si junior yang dinilai belum layak dipromosikan, sama-sama punya kekecewaan tersendiri.
Kecewa yang mendalam dan berkepanjangan bisa berujung menjadi problem mental atau menderita stres. Jika stres tidak teratasi dengan baik, lama-lama juga berdampak negatif terhadap kesehatan secara fisik.
Stres di kantor bukan hanya terkait dengan interaksi senior-junior atau atasan-bawahan, tapi juga karena berbagai hal lain. Contohnya, gaji yang rendah, beban kerja yang berat, dan sebagainya.
Bagi karyawan yang mampu melihat sesuatu secara realisitis, akan mampu meredam kekecewaan dengan baik.