Saat pegawai kantoran memutuskan untuk memulai usaha rumahan ada baiknya tak langsung resign. Ciptakan semacam masa transisi sebelum terjun total menjadi pelaku usaha.
---
Sudah tiga orang keponakan saya yang resign dari kantor tempat mereka masing-masing bekerja. Tapi, hal ini tak berkaitan dengan pandemi yang salah satu dampaknya adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di banyak perusahaan.
Meskipun tidak bersamaan waktunya, ketiga keponakan saya itu mengajukan permohonan pengunduran diri pada tahun 2018 dan 2019 lalu. Ketika itu belum ada berita pandemi, termasuk di Wuhan, China, daerah asal muasal Covid-19.
Saya sebetulnya agak menyayangkan keputusan berani yang diambil tiga keponakan itu. Tapi, di lain pihak saya juga menghargai keputusannya dan tetap mendukung dan membantu.
Padahal, dua di antaranya sudah berstatus karyawan tetap, satu di sebuah dealer mobil dan satu lagi di perusahaan asuransi. Tapi, satu keponakan yang lain memang posisinya sebagai tenaga kontrak (outsourcing) di sebuah bank.
Saya sudah mengemukakan pandangan agar mereka tak perlu buru-buru resign. Soalnya, mereka bukan terkena PHK, dan bukan pula terkena program perampingan karyawan.
Alasan mereka kebetulan juga sama, mau banting setir, fokus membuka usaha rumahan. Ada yang akan berjualan pakaian muslim secara online, ada yang mau membuka jasa laundry, dan yang satunya lagi mau buka usaha makanan kecil.
Saya tak meragukan, bahwa niat untuk berwirausaha merupakan hal yang bagus. Indonesia memang membutuhkan lebih banyak pelaku usaha, meskipun untuk skala yang tergolong usaha mikro.
Bayangkan, bila para lulusan perguruan tinggi tidak terlalu banyak yang berburu jadi pegawai negeri, pegawai perusahaan milik negara atau milik swasta, tapi justru menciptakan lapangan kerja sendiri, tentu akan menekan angka pengangguran secara signifikan.