Salah seorang teman saya satu angkatan waktu sama-sama diterima bekerja di sebuah BUMN, bernama Dwi. Jangan salah menyebut namanya, bukan Dewi.
Dwi seorang cowok yang rambutnya agak panjang, tapi bukan gondrong. Di kantor memang tidak diperkenankan karyawan yang memelihara rambut gondrong.
Karena saya berteman akrab dengan Dwi, bagaimana perkembangan fisiknya sejak masa awal bekerja hingga menjelang pensiun, tak luput dari perhatian saya.
Orang lain yang sudah belasan tahun tidak bertemu Dwi, pasti kaget melihat rambutnya sekarang yang sudah tidak tersisa. Tapi, bagi saya yang mengikuti perubahan penampilan Dwi tahun demi tahun, tak ada kekagetan sama sekali.
Kelebihan Dwi, dia terlihat begitu pede dengan kepala plontos. Meskipun banyak teman-teman yang ngeledek seperti numpang ngaca ke kepalanya, atau yang mengatakan pandangannya silau gara-gara pantulan dari kepala Dwi, ditanggapinya dengan tertawa saja.
Malah Dwi balas ngeledek teman-teman yang rambutnya lebat, namun sudah meninggalkan "dunia hitam". Maksudnya, teman tersebut rambutnya sudah memutih secara merata.
Tapi, ada teman saya yang lain yang juga berkepala botak, tidak terlihat pede. Makanya, ia sering memakai topi. Agar menarik, topinya pun cukup banyak, sehingga yang bertengger di kepalanya berganti-ganti.
Cerita lain tentang orang yang "gunawan" alias gundul menawan di kantor tempat saya bekerja, pernah membuat saya tak enak hati. Ia bukan teman saya, tapi seorang direktur.
Suatu kali, saya dipanggil ke ruang kerja sang direktur, sebut saja namanya Pak Sonny. Awalnya beliau memberikan sebuah instruksi untuk saya kerjakan.
Tapi, setelah saya cermati, tugas tersebut rupanya bukan tugas divisi saya saja, tapi harus bersama divisi lain, yang kepala divisinya bernama Eko.
Maka saya usulkan agar Pak Sonny juga memanggil Eko agar tidak ada kesalahan penafsiran. Begitu saya menyebut nama Eko, malah giliran Pak Sonny yang bingung, karena belum mengenal Eko.