Bahwa negara kita menganut paham demokrasi, tentu sudah sama-sama kita ketahui dan memang itu yang kita inginkan.
Meskipun demikian, dalam praktiknya, tak dapat dipungkiri, masih dijumpai hal-hal yang kurang sesuai dengan prinsip demokrasi.
Sebagai contoh, J Kristiadi dalam opininya di Harian Kompas (2/9/2021) yang berjudul "Suara Rakyat, Suara Tuhan", mempertanyakan, mengapa praktik demokrasi di Indonesia semakin rapuh.
Opini di atas mengacu pada kondisi dalam beberapa bulan terakhir, di mana eskalasi kritik terhadap praktik demokrasi kian melengking.
Pemantiknya polemik penghapusan mural bergambar mirip Presiden Joko Widodo bertuliskan "404: Not Found" (Kompas, 18/8/2021).
Terlepas dari hal itu, negara kita sendiri sangatlah heterogen. Kita harus bersyukur karena dengan kurnia Tuhan, kita bisa bersatu dalam NKRI.
Tentu, dalam tataran kebijakan, semua etnis di negara kita punya kedudukan yang setara, tak ada yang superior dan tak ada yang inferior.
Tapi, tanpa dirancang secara khusus, dalam praktiknya pengaruh etnis Jawa terlihat dominan di negara kita.
Ini dapat dimaklumi karena memang orang Jawa yang jadi mayoritas dilihat dari sisi komposisi penduduk berdasarkan etnis.
Dengan demikian, apabila para pejabat juga didominasi oleh etnis Jawa, sangat bisa dimaklumi.
Untuk mengakomodir etnis selain Jawa, menjadi aturan tak tertulis bahwa dalam setiap pembentukan kabinet, selalu ada beberapa orang menteri yang sengaja diambil dari etnis lain, tentu tanpa mengabaikan kapasitas kepemimipinanya.