"Indak ado kusuik nan indak ka salasai, indak ado karuah nan indak ka janiah", demikian bunyi sebuah peribahasa bernada optimis dalam bahasa Minang.
Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, bunyinya menjadi: "Tidak ada kusut yang tak akan selesai, tidak ada keruh yang tidak akan jernih".
Penafsiran bebasnya adalah, seberat apapun masalah yang kita hadapi, tetaplah optimis. Jika kita mampu bersikap tenang, tidak panik, masalah tersebut akan terselesaikan.
Peribahasa di atas, bagi generasi muda Minang sendiri, mungkin sudah banyak yang tidak tahu. Justru, ungkapan yang lebih populer untuk hal serupa adalah kata-kata puitis "badai pasti berlalu".
Kalau tidak keliru, "badai pasti berlalu" itu, awalnya merupakan judul novel karya Marga T yang menjadi cerita bersambung (cerbung) di harian Kompas pada tahun 1972.
Kemudian, melihat minat pembaca yang tinggi, Gramedia menerbitkannya menjadi buku pada tahun 1974. Bahkan, kemudian novel ini difilmkan dengan judul yang sama pada tahun 1977 yang disutradarai oleh Teguh Karya.
Seperti halnya novelnya, film Badai Pasti Berlalu juga meledak di pasaran. Apalagi film itu dibintangi oleh aktor dan aktris terkenal saat itu, yakni Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Roy Marten, dan Mieke Widjaja.
Versi daur ulang dari film tersebut diproduksi pada tahun 2007 dengan sutradara Teddy Soeriaatmadja, dan dibintangi Vino Bastian dan Raihaanun.
Tidak itu saja, kepopuleran "badai pasti berlalu" juga karena kehadiran lagu berjudul sama yang diciptakan Eros Djarot dan dibawakan oleh penyanyi Chrisye. Lagu ini menjadi salah satu lagu pop Indonesia legendaris dan sering berkumandang hingga sekarang.
Sama halnya dengan peribahasa dalam bahasa Minang di atas, ungkapan "badai pasti berlalu" jelas bernada optimis, menjadi penyemangat dalam menghadapi suatu masalah yang pelik.
Tapi, bukan kepastian serangan badai akan berlalu yang perlu dibahas. Masalahnya bukan pada kata "pasti", tapi soal waktu, kapan akan berlalu.