Tulisan saya sebelumnya, yang dapat dibaca di sini, mendapat tanggapan dari kompasianer Tonny Syiariel. Tulisan tersebut tentang program "Work From Bali" (WFB) dalam rangka membantu membangkitkan usaha pariwisata di Bali yang sekarang terpuruk dihantam badai pandemi.
Lalu, Bung Tonny mempertanyakan pemborosan anggaran pemerintah bagi ASN yang akan bekerja dari Bali. Memang, bagi ASN yang ikut program WFB, biaya transportasi dan akomodasinya akan ditanggung oleh pemerintah.
Saya sependapat dengan Bung Tonny bahwa kesan pemborosan tidak terelakkan. Tapi, dugaan saya pengeluaran pemerintah itu sebagian bersifat "keluar dari kantong kanan, masuk ke kantong kiri".
Maksudnya, siapa tahu, yang akan kecipratan dana WFB itu bisa jadi BUMN seperti Garuda Indonesia dan hotel-hotel di Bali yang berstatus BUMN atau anak perusahaan BUMN.
Tentang Garuda Indonesia misalnya, sejak pandemi kondisinya memang lagi "sakit". Buktinya, dari berita detik.com (27/5/2021), terungkap bahwa pemerintah menyiapkan empat opsi untuk menyelamatkan Garuda Indonesia.
Keempat opsi dimaksud adalah memberikan suntikan modal, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi, mendirikan maskapai baru, dan melikuidasi Garuda.
Meski belum begitu jelas seberapa parah penyakit yang menggerogoti Garuda, namun mudah dipahami, kebijakan pembatasan sosial, termasuk larangan mudik baru-baru ini, telah membuat Garuda berdarah-darah.
Tapi, tulisan ini tidak akan meneruskan topik WFB. Hanya, berkaitan dengan "kantong kiri pindah ke kantong kanan" ini, saya teringat dengan pengalaman sebuah bank besar yang sekitar 10-11 tahun lalu, beberapa nasabah intinya tidak mampu mengembalikan kredit.
Salah satu di antara nasabah inti tersebut adalah maskapai penerbangan yang menjalani rute ke berbagai kota yang bandaranya hanya bisa didarati pesawat berukuran kecil.
Maka, banyak pejabat di kantor pusat bank tersebut, secara bergiliran diberi kesempatan melihat kantor cabang BUMN itu yang tersebar di daerah pelosok. Tentu dengan mewajibkan pejabat tersebut menggunakan pesawat yang dikelola si nasabah inti.
Jadi, pembayaran dari bank untuk pihak maskapai, nantinya akan dikembalikan lagi untuk mencicil tunggakan kredit si nasabah. Oleh karena itu, disebut sebagai pidah kantong.