Dipanggil "pak" oleh para karyawan yang jauh lebih tua, membuat saya merasa kurang nyaman. Itulah yang saya alami pada bulan pertama saya diterima bekerja di kantor pusat sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sesuai dengan latar belakang pendidikan saya yang ketika itu baru lulus dari fakultas ekonomi jurusan akuntansi, saya ditempatkan di divisi pembukuan (kemudian berganti nama menjadi divisi akuntansi).
Pembukuan dan akuntansi sebetulnya esensinya sama. Pembukuan konon terjemahan dari bookkeeping merupakan tata cara pencatatan gaya lama peninggalan Belanda, sedangkan akuntansi, berkiblat pada buku-buku teks di Amerika Serikat yang cakupannya lebih luas dari sekadar pembukuan.
Saya boleh dikatakan anak bawang ketika itu, yakni pada bulan Juli 1986. Dua minggu pertama saya hanya diminta mempelajari berbagai buku pedoman pembukuan oleh kepala divisi.
Di divisi tersebut terdapat banyak karyawan dan karyawati, seingat saya sekitar 70 0rang. Ingat, ketika itu belum era komputerisasi. Pembukuan dihitung pakai mesin hitung yang gulungan kertas yang menjadi bukti perhitungan bisa sepanjang 2 atau 3 meter.
Laporan keuangan juga diketik pakai mesin tik manual. Jadi, wajar saja kalau karyawannya sebanyak itu, yang masing-masing sibuk bekerja. Hanya saya dan seorang lagi karyawan baru, yang juga sarjana akuntansi, yang masih membaca-baca saja di dua minggu pertama itu.
Nah, kembali ke soal panggilan "pak", kenapa saya jadi tidak nyaman? Ya, karena itu tadi, saya kan lebih muda. Saya belum paham bahwa "pak" itu bisa karena faktor usia atau karena penghormatan atau dituakan.
Awalnya saya sampai berpikir, apakah saya tergolong "bermutu" (bermuka tua)? Atau, jangan-jangan saya dipanggil pak sebagai sindiran. Mana tahu, kehadiran saya tidak diterima dengan baik.
Atau, boleh jadi itu semacam bullying bagi karyawan baru. Tapi, gaya mereka berbicara tidak menunjukkan gelagat ke arah bullying, malah cenderung menghormati.
Setelah saya selidiki, ternyata di divisi itu, yang sarjana tidaklah banyak, hanya 7 orang. Jadi, saya dan seorang teman yang baru masuk menjadi sarjana ke 8 dan 9.
Beberapa tahun setelah itu, baru terjadi penerimaan sarjana yang lebih banyak, sehingga jumlah sarjana dan non-sarjana lebih berimbang. Bahkan, sekarang yang sarjana menjadi mayoritas.