Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Penglaju di Jabodetabek, Masih di Kendaraan Umum Ketika Azan Magrib Berkumandang

Diperbarui: 22 April 2021   17:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Antara, dimuat beritasatu.com

Bagi warga Jabodetabek, tentu sudah sangat paham, betapa parahnya tingkat kemacetan di jalan raya pada jam-jam sibuk. Ketika subuh hingga pagi hari, dari berbagai penjuru di kawasan yang berbatasan dengan DKI Jakarta, iring-iringan kendaraan sepeti laron menuju berbagai sentra perkantoran.

Sentra perkantoran itu meskipun tersebar, tapi mayoritas berada di sepanjang jalan protokol seperti Jalan Sudirman, Jalan Thamrin, Jalan Rasuna Said, Jalan Gatot Subroto, dan Jalan S. Parman.

Demikian pula di sore hari hingga sekitar pukul 9 malam, iring-iringan bak laron itu berdesak-desakan di jalan raya dari sentra perkantoran ke berbagai kawasan pinggiran seperti Depok, Bogor, Bekasi dan Tangerang.

Terhadap jutaan orang yang berperilaku seperti itu (pulang pergi setiap hari, baik memakai kendaraan pribadi, maupun kendaraan umum) disebut dengan penglaju atau komuter.

Awalnya, bagi yang baru melakoni jadi penglaju, mungkin cukup menderita. Tapi lama-lama terbiasa, meskipun banyak yang mengatakan bahwa para penglaju itu "tua di jalan".

Pengguna moda transportasi publik seperti busway (bus Transjakarta, tapi lebih dikenal sebagai busway) dan kereta api, tidak sedikit yang bisa tertidur nyenyak bila dapat tempat duduk di kendaraan.

Selama periode awal pandemi, sekitar Maret-April 2020 lalu, memang tingkat kemacetan di Jakarta jauh berkurang. Hal ini karena sebagian besar orang kantoran bekerja dari rumah. Jadi, pada bulan puasa tahun lalu, tak ada masalah dengan kemacetan di jalan.

Tapi, pada puasa tahun ini, meskipun aturan pembatasan sosial masih berlaku, kepadatan lalu lintas di ibu kota terlihat normal seperti sebelum pandemi.

Lalu, bagi yang bekerja di kantor, selama bulan puasa jam kerja mengalami perubahan, di mana para karyawan pulang lebih awal. Tentu maksudnya agar para karyawan tersebut masih keburu berbuka puasa di rumah masing-masing.

Memang, mengingat tempat tinggal mayoritas karyawan di kawasan pinggiran, yang bahkan sudah berbeda provinsi (bukan lagi DKI Jakarta), maka jika seseorang membutuhkan waktu dua jam untuk sampai di rumah, tergolong wajar. Bahkan, bisa lebih dari itu bila harus dua atau tiga kali berganti moda transportasi.

Tentu waktu tempuh itu sudah masuk perhitungan seseorang yang bekerja di sentra perkantoran dan tinggal di kawasan pinggiran. Artinya, dalam bulan puasa harus berhitung dengan cermat, apakah masih sempat berbuka puasa di rumah. Jika tidak, pilihannya adalah berbuka puasa di kantor, atau berbuka puasa di jalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline