Pesatnya perkembangan industri teknologi finansial (tekfin), awalnya dinilai menjadi ancaman bagi industri perbankan. Betapa tidak, sebelumnya seseorang yang membutuhkan kredit harus datang mengajukan permohonan secara tertulis ke bank dan melengkapi berbagai persyaratan.
Setelah itu, pihak bank butuh waktu untuk menganalisis apakah si pemohon layak diberikan kredit. Kalau disetujui, masih butuh waktu beberapa hari lagi untuk proses pencairan kredit. Pokoknya, birokrasinya lumayan rumit karena bank menerapkan prinsip prudential banking.
Sekarang, dengan kehadiran tekfin, hanya dengan bermodalkan aplikasi di gawai dan dalam hitungan jam, sudah masuk dana ke rekening peminjam. Tentu juga ada persyaratan yang harus dipenuhi calon peminjam, seperti bukti identitas nasabah dan bukti kemampuannya untuk membayar kembali dari penghasilan bulanannya.
Namun demikian, dugaan bank akan "habis", ternyata keliru. Menurut Munawar Kasan, Deputi Direktur di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri tekfin justru jadi pendorong akselerasi perbankan menuju digitalisasi (Kompas, 19/3/2021).
Selain itu, semakin banyak bank yang berkolaborasi dengan perusahaan tekfin dengan saling bekerjasama. Soalnya, bank dan tekfin ternyata saling membutuhkan atau saling melengkapi.
Memang, sekilas seperti terkesan keduanya saling bersaing. Kalaupun sebagian nasabah bank berpaling ke tekfin, secara persentase tidak begitu signifikan.
Hal ini karena pada dasarnya tekfin menggarap nasabah yang selama ini memang belum terjangkau oleh bank, karena penghasilannya tidak mencukupi batas minimal yang diminta bank. Atau, juga karena nasabah tersebut tidak mempunyai kelengkapan dokumen yang dipersyaratkan bank, terutama yang berkaitan dengan agunan pinjaman.
Jadi, tekfin mengisi celah yang belum ter-cover oleh bank. Nah, melihat fleksibilitas dan kelincahan tekfin, akhirnya banyak bank yang mengajak tekfin berkolaborasi. Di lain pihak, tekfin membutuhkan modal yang antara lain bisa didapat dengan dukungan pendanaan dari bank.
Soal pendanaan tekfin tersebut, dalam pola peer-to-peer lending, memang bukan berasal dari modal pemilik tekfin, tapi dari masyarakat yang mempercayakan uangnya diputarkan tekfin. Tentu masyarakat penyimpan dana mengharapkan imbalan berupa bunga atau sejenisnya.
Namun, bila calon peminjamnya banyak, sedangkan penyimpan dana sedikit, jika bank percaya dengan kemampuan manajemen tekfin, bukan tidak mungkin bank mengucurkan dananya.
Selain itu, tekfin juga membutuhkan pembinaan manajemen oleh perbankan, terutama dari sisi manajemen risiko, karena bank telah punya pengalaman jauh lebih dulu.