Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Anggaran Bansos, Sumbangan Berhadiah, dan Judi Buntut

Diperbarui: 4 Februari 2021   10:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi bansos. (sumber: shutterstock via kompas.com)

Saya pernah menulis tentang gebrakan yang dilakukan Menteri Sosial Tri Rismaharini. Beliau bergerak cepat dengan mendatangi daerah yang tertimpa bencana gempa bumi di Sulawesi Barat. Namun, bersamaan dengan itu juga terjadi banjir besar di Kalimantan Selatan. 

Waktu itu saya mempertanyakan daya tahan (maksudnya secara fisik) ibu menteri, mengingat bencana di negara kita terjadi bertubi-tubi, silih berganti. Contohnya, bersamaan dengan banjir di Kalsel di atas, sebetulnya hal yang sama juga menimpa beberapa tempat di Kalbar, Aceh, dan juga longsor di Sumedang (Jabar) dan Manado (Sulut).

Tapi, saya tertarik dengan komentar salah seorang pembaca yang tidak khawatir dengan daya tahan Risma, begitu panggilan Tri Rismaharini. Yang mencemaskannya justru soal anggaran, jangan-jangan Kementerian Sosial jebol anggarannya.

Ya, untuk membantu warga yang terdampak bencana, tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Belum lagi kalau dihitung juga dana bantuan sosial yang bersifat rutin seperti yang diberikan bagi kaum tunawisma. 

Berikutnya, sejak pandemi Covid-19 menghantam negara kita yang berlangsung sudah hampir 1 tahun, bantuan sosial untuk mereka yang tiba-tiba kehilangan atau mengalami penurunan penghasilan, juga memakan anggaran yang besar.

Kabar bagusnya, belum terdengar keluhan pemerintah yang bisa ditafsirkan sebagai kekurangan anggaran untuk bantuan sosial. Meskipun demikian, kita tahu, utang pemerintah memang relatif besar, baik kepada pihak asing, maupun kepada masyarakat yang membeli obligasi (surat utang) yang diterbitkan pemerintah.

Gara-gara anggaran sosial itulah, tiba-tiba saya teringat dengan masa kecil saya di Payakumbuh, Sumatera Barat, pada dekade 1970-an. Kebetulan, sepulang sekolah, saya sering ikut ke kedai tempat ayah saya berjualan sepatu di Pasar Payakumbuh.

Di trotoar di depan kedai itu, ada pedagang yang menggunakan semacam kotak untuk menggelar dagangannya. Ia bukan berdagang makanan, bukan pula mainan anak-anak. Yang dijualnya adalah dua koran harian terbitan Padang, Haluan dan Singgalang. 

Namun, selain koran, ada kertas lain yang lebih laris, yakni lembaran undian berhadiah yang dinamakan "Undian Harapan". Undian ini bersifat legal karena memang mendapat izin dari pemerintah pusat dan berlaku secara nasional. Hasil penjualannya setelah dikurangi hadiah yang cukup fantastis untuk ukuran masa itu, digunakan untuk dana bantuan sosial.  

Undian Harapan tersebut, sebelumnya terkenal bernama Nalo (kalau tidak keliru, artinya Nasional Lotre). Kemudian Undian Harapan juga beberapa kali berganti nama, antara lain untuk merespon tudingan sebagian ulama yang menyebutnya sebagai judi. 

Terakhir, sebelum tidak dibolehkan lagi oleh pemerintah pada tahun 1993, dinamakan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB). Jelas, pemerintah ingin menekankan pada kata sumbangan sosial, agar tidak terkesan sebagai legalisasi perjudian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline