Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Yang Menolak Divaksin Didominasi oleh Kelompok Haters Jokowi?

Diperbarui: 25 Januari 2021   11:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. shutterstock/ayojakarta.com

Vaksinasi di negara kita yang bertujuan untuk menghentikan penularan Covid-19, telah dimulai secara serentak di semua provinsi sejak pertengahan Januari 2021. Untuk tahap awal, hanya mereka yang termasuk kriteria tertentu saja yang menerima vaksin, di antaranya para pejabat, tenaga kesehatan, serta anggota TNI dan Polri

Namun demikian, masih saja terdengar suara atau postingan di media sosial yang pada dasarnya menolak untuk divaksin. Awalnya bisa dipahami, mungkin mereka masih ragu atau ingin melihat-lihat dulu.

Tapi, setelah gelombang pertama divaksin tanpa adanya penerima vaksin yang terkena dampak negatif, harusnya telah menyingkirkan keraguan bagi masyarakat. Kenyataannya, jika diamati perbincangan di media sosial, masih saja ada yang menyatakan menolak untuk divaksin. Bahkan, ada yang menuding bahwa Presiden Jokowi divaksin hanya untuk pencitraan.

Hanya saja, apa yang beredar di media sosial, tak bisa langsung dipercaya begitu saja. Berbagai konten yang pada intinya mengatakan bahwa vaksin yang sekarang digunakan di negara kita mengandung bahaya, bisa jadi hoax yang sengaja dibuat oleh oknum tertentu.

Lagipula, mereka yang menolak divaksin, sebagian diduga memang karena alasan ketidaksukaan terhadap Jokowi atau terhadap partai politik yang berkuasa. Dengan menyuarakan penolakan tersebut, mungkin mereka berharap terjadinya kegagalan pemerintah dalam menangani Covid-19.

Ada yang menarik dari survei terbaru Litbang Kompas (kompas.id, 20/1/2021), yang dilakukan terhadap 2.000 responden di 34 provinsi. Hasilnya lumayan bagus, 76 persen responden mengaku bersedia divaksin, dan sisanya cenderung ragu-ragu hingga menolak vaksinasi.

Tingginya minat masyarakat untuk divaksin ditengarai antara lain karena faktor "Jokowi". Artinya, kepemimpinan Jokowi dan tindakannya menjadi orang pertama yang divaksin ikut membangun kepercayaan di tengah masyarakat. Sementara bagi sebagian kalangan bukan pemilih Jokowi pada pilpres 2019 lalu, faktor "Jokowi" justru menjadi penghambat (distorter variable) untuk divaksin.

Begitulah, agak kurang logis memang, bila soal pilihan politik dikaitkan dengan kesediaan atau penolakan untuk menerima vaksin. Bukankah logikanya yang dipertimbangkan adalah manfaat dari vaksin itu sendiri sebagai faktor penarik, atau ditambah dengan faktor kehalalan bagi yang concern dengan itu.

Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah efek samping yang mungkin timbul atau keyakinan vaksin akan membahayakan tubuhnya. Apalagi vaksin diberikan secara gratis. Sekiranya berbayar, keberatan warga yang tidak mampu, tentu dapat dipahami.

Jadi, sebetulnya tidak ada kaitan langsung dengan politik. Hanya tak dapat dipungkiri, contoh dari seorang pemimpin tentu amat penting, karena masyarakat kita masih banyak yang ingin melihat dulu, baru percaya.

Namun demikian, kita tak bisa menutup mata, sebagian yang menolak, agaknya memang bukan karena alasan pilihan politik. Buktinya, ada juga individu tertentu yang sebetulnya termasuk pendukung Jokowi, seperti Ribka Tjiptaning, anggota parlemen mewakili PDIP, yang juga partai tempat Jokowi bernaung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline