Berita tentang merger yang melibatkan 3 bank syariah yang semuanya merupakan anak perusahaan dari bank-bank milik negara, telah beredar luas. Ketiga bank dimaksud adalah Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah).
Namun demikian, apa nama bank hasil merger tersebut, selama ini belum didapat kepastian, meskipun pernah beredar isu akan dinamakan Bank Amanah. Tapi syukurlah, akhirnya, muncul juga nama resmi bank ini, yakni Bank Syariah Indonesia (BSI).
BSI langsung mendapat status perusahaan terbuka (Tbk.), karena terbantu oleh status BRIS yang menjadi satu-satunya yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) di antara 3 bank yang bergabung.
Jadi, dalam proses merger, BRI menjadi entitas yang dipertahankan, sedangkan BSM dan BNIS digabungkan ke BRIS. Barulah kemudian nama BRIS merubah menjadi BSI. Menjadi perusahaan terbuka merupakan sebuah prestasi, mengingat harus memenuhi berbagai hal yang dipersyaratkan oleh BEI dan Otoritratas Jasa Keuangan (OJK), di antaranya harus membuka informasi ke publik, sesuai dengan prinsip full disclosure.
Jika hanya melihat jumlah aset, karena aset terbesar berada di BSM, logikanya BRIS dan BNIS dimasukkan ke BSM. Namun, kalau pilihan ini yang diambil, akan sangat disayangkan, karena BRIS yang sudah jadi perusahaan terbuka akan hilang, sahamnya tidak lagi diperdagangkan (disebut juga delisting) di BEI. Pemegang saham BRIS bisa jadi akan kecewa dan menderita kerugian.
Sekarang, jika diamati, terlihat betapa publik menilai prospek BRIS demikian cerah, makanya harga saham BRIS pun melejit. Pada penutupan bursa Jumat (11/12/2020), harga saham BRIS ditutup sebesar Rp 1.785 per lembar. Tentu saja hal ini berkaitan dengan bergabungnya BSM dan BNIS ke BRIS, walaupun nantinya nama BRIS akan berganti.
Sebagai catatan, pada awal tahun ini harga saham BRIS masih di Rp 300-an per lembar. Hitung sendiri, berapa kali lipat kenaikannya. Padahal, karena pandemi, saham perusahaan lain rata-rata masih di bawah harga awal tahun, termasuk yang dialami saham berkode BBRI (saham Bank Rakyat Indonesia, induk perusahaan dari BRIS).
Tentang nama BSI, sumber beritanya dapat dipercaya karena berasal dari pernyataan Direktur Utama BRIS, Ngatari (kompas.com, 11/12/2020). Namun demikian, hingga saat ini, proses penggabungan masih berjalan dan nama BSI belum berlaku secara efektif. Karena sudah berstatus perusahaan terbuka, tentu perubahan nama perusahaan harus mendapat persetujuan forum Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terlebih dahulu.
Apakah Ngatari akan otomatis jadi Dirut BSI, belum bisa dipastikan. Tapi, diperkirakan nantinya Dirut BSI akan didampingi oleh dua orang Wakil Direktur Utama, sehingga tiga bank yang membentuk BRIS, semuanya kebagian posisi puncak. Kemudian tentu juga ada beberapa orang direktur sebagai anggota Direksi.
Walaupun para pejabat di ketiga bank yang bergabung bisa diakomodir dalam BSI, tidak berarti semuanya akan berlangsung mulus-mulus saja. Mengacu pada pengalaman Bank Mandiri yang merupakan hasil penggabungan 4 bank BUMN (Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor Indonesia), menyelaraskan budaya kerja dan menghilangkan kecemburuan antar "geng" asal, tak bisa instan, butuh waktu untuk beradaptasi.
Kembali ke soal nama, dengan nama BSI, terasa lebih adil, tidak terkesan memihak salah satu bank. Bank Syariah Indonesia, citranya adalah sesuatu yang netral, lebih jelas menonjolkan unsur "syariah" dan "Indonesia".