Dengan ditangkapnya dua orang menteri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir bisa dipastikan, cepat atau lambat, Presiden Jokowi akan melakukan reshuffle terbatas. Terbatas dalam arti mungkin hanya dua menteri yang ditangkap KPK itu saja yang diganti, yakni Menteri Kelautan dan Perikanan dan Menteri Sosial.
Tapi, bisa pula terbatas dalam arti tidak dirombak secara besar-besaran, walaupun bisa jadi ada satu atau dua menteri lagi yang ikut diganti karena kinerjanya tidak sesuai harapan. Rumor tentang siapa saja menteri yang bakal diganti telah beredar di media sosial, tapi sumber beritanya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Adapun bila terjadi pergantian menteri dalam jumlah yang banyak, katakanlah lebih dari 5 orang, dikhawatirkan kurang kondusif untuk melakukan gerak cepat mengahadapi pandemi Covid-19 yang masih jadi ancaman besar, termasuk dampak negatifnya terhadap perekonomian nasional yang sekarang sudah memasuki masa resesi.
Tak ada kesulitan bagi Presiden Jokowi bila yang diganti adalah menteri yang berasal dari kalangan profesional. Masalahnya, menteri yang dicokok KPK, dua-duanya kader partai politik, yang keberadaannya bagian dari tawar menawar politik.
Maka, secara fatsun (sopan santun, tata krama, atau etika) yang baik dalam pemerintahan yang disokong oleh partai koalisi, Jokowi tentu akan meminta nama menteri pengganti dari ketua umum partai terkait.
Masalahnya, kalau dipikir-pikir, bila kader partai yang sama akan mengisi lagi posisi yang ditinggalkan menteri yang diduga terlibat korupsi, di mana unsur hukumannya atau unsur mendidiknya? Jangan-jangan si pengganti terperosok ke lubang yang sama, maksudnya terlibat korupsi lagi.
Bukankah Menteri Sosial sebelum Juliari Batubara pernah juga melakukan hal yang sama, yakni Bachtiar Chamsyah dan Idrus Marham. Demikian pula Menteri Kelautan dan Perikanan, tidak hanya Edhy Prabowo, tapi pernah menimpa Rokhmin Dahuri.
Sebaiknya dibuat perjanjian, bila kader suatu partai yang diangkat jadi menteri, terlibat korupsi, penggantinya akan ditunjuk dari kalangan profesional non partai. Istilah profesional memang adakalanya rancu, mengingat kader partai pun ada juga yang menjadi profesional, tapi bukan itu yang dimaksud.
Jadi, untuk kali ini, apa boleh buat, Jokowi mungkin akan berkompromi dengan Prabowo Subianto untuk mencari pengganti Edhy Prabowo, karena Edhy kader Gerindra yang anak buah Prabowo. Tapi, tak ada salahnya Jokowi memberikan peringatan, bila kader Gerindra yang menggantikan Edhy terlibat korupsi, tak ada ampun, jatah Gerindra akan hilang.
Demikian pula untuk pengganti Juliari Batubara, sangat mungkin pendapat Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, yang akan diminta oleh Jokowi, karena Juliari adalah kader PDIP.
Nah, posisi Jokowi sendiri jika berhadapan dengan Megawati, rada unik. Sebagai Presiden RI, jelas tak terbantahkan Jokowi lebih tinggi dari Megawati. Tapi, sebagai kader PDIP, Jokowi harus tunduk kepada Megawati. Jadi bingung kan?