Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Generasi Sandwich? Biar Aku Saja, Anakku Jangan

Diperbarui: 5 Desember 2020   07:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. hidayatullah.com

Mengurusi anak-anak dan sekaligus juga mengurusi orang tua (termasuk mertua), menjadi pengalaman saya bersama istri selama sekitar 25 tahun. Terakhir, dengan berpulangnya ibu mertua saya, empat tahun lalu, maka baik saya, maupun istri, sudah sama-sama tidak punya orang tua lagi.

Secara agama, menurut yang saya pahami, anak wajib memelihara orang tuanya yang sudah tidak bisa mencari nafkah lagi. Arti memelihara tersebut tidak saja dengan memberikan uang buat keperluan orang tua, tapi juga perhatian dengan menyediakan waktu khusus untuk bertemu langsung dan menyenangkan hati orang tua.

Tapi, bagi saya sendiri, dan saya duga juga bagi kakak-kakak dan adik-adik saya, membantu orang tua, baik secara finansial, maupun dalam bentuk perhatian, tidak memandang sebagai kewajiban yang membebani. Justru, semuanya atas dasar rasa hormat dan sayang pada kedua orang tua kami.

Kebetulan, kami lahir dari keluarga yang secara ekonomi pas-pasan saja. Tapi, dengan kegigihan yang luar biasa, tanpa lelah beliau "menanam" dan kamilah yang memetik hasilnya. Maka, tentu sangat wajar bila apa yang kami petik dibagikan pada yang menanam. Tanpa beliau, kami ini tidak ada artinya.

Saya merupakan anak ke-4 dari 7 bersaudara. Saya ingat betul, betapa "berdarah-darahnya" ayah saya untuk membiayai saya kuliah di Padang, karena hasil berjualan sepatu dan sandal di kios kecil di pasar kota Payakumbuh, Sumbar, di awal dekade 1980-an, sudah tidak memadai. Untung saja saya dapat beasiswa, sehingga bisa mengurangi beban orang tua.

Kemudian saya juga terbantu dari honor menulis di koran lokal, Haluan, dan pada tahun terakhir kuliah juga menjadi asisten dosen. Di samping itu, saya juga memberikan les privat mata kuliah akuntansi yang diikuti  beberapa kelompok mahasiswa perguruan tinggi swasta. 

Sebetulnya, ketika saya sudah tamat kuliah, ayah saya sudah tidak punya penghasilan lagi. Ayah tidak kuat menyewa kios di pasar. Padahal, masih ada 3 adik saya yang masih kuliah dan yang masih duduk di bangku SMA.

Saya teringat ketika belum lama bekerja di kantor pusat sebuah BUMN di Jakarta, di akhir dekade 1980-an. Hubungan dengan orang tua, terutama ibu saya, berjalan dengan baik melalui surat. Maklum, belum ada hape, bahkan  telpon rumah pun tak banyak yang punya di Payakumbuh, termasuk ibu saya.

Suatu kali, ibu saya bertanya, berapa saya bisa menyisihkan gaji buat dikirim ke beliau. Bukan buat kebutuhan ibu, tapi untuk biaya kuliah dan juga biaya kos di Padang, karena adik bungsu saya diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

Akhirnya, saya kirimkan foto kopi slip gaji saya, lalu saya berikan perincian pengeluaran rutin saya, dan kalau tidak keliru saya hanya menyisihkan sebesar 10 persen dari gaji untuk dikirim ke kampung. Dan itu relatif kecil karena gaji saya juga kecil. Tapi, itu sudah cukup membantu, karena seorang kakak saya juga ikut membantu si bungsu.

Namun, seiring dengan kenaikan karier di kantor, kemampuan saya buat membantu orang tua dan adik-adik semakin membaik. Sehingga, bila dianggap saya menerapkan pola hidup yang saat ini lebih populer disebut dengan generasi sandwich,  saya tidak merasa dalam kondisi tergencet. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline