Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Jadi Guru, Panggilan Jiwa dan Panggilan Perut

Diperbarui: 25 November 2020   19:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. antara foto, dimuat matamatapolitik.com

Harian Kompas (23/11/2020) demikian banyak mengupas kisah penderitaan para guru honorer (selanjutnya ditulis GH). Saya merasa, apa yang telah saya lakukan selama ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan mereka yang demikian bersemangat mencerdaskan anak bangsa, meskipun menerima imbalan yang sangat rendah.

Coba simak kisah seorang  Diana Widayani, yang sudah 15 tahun jadi GH di sebuah SD di Banda Aceh. Upahnya Rp 670.000 per bulan. Padahal upah minimum pekerja di kota ujung barat Indonesia itu Rp 2,9 juta per bulan.

Teman Diana sesama GH di Banda Aceh, tapi di SD yang berbeda, nasibnya lebih mengenaskan lagi, karena hanya menerima Rp 230.000 per bulan. Hal ini mungkin berkaitan dengan statusnya yang masih junior, baru 2 tahun menjadi GH.

Dengan penghasilan sekecil itu, jelas para GH tidak sanggup membeli laptop atau telpon pintar, padahal kedua barang ini sangat dibutuhkan sebagai sarana pembelajaran di saat pandemi sekarang ini.

Saya tidak habis pikir, ternyata jumlah GH di seluruh Indonesia sangat banyak, yang artinya tanpa keberadaan mereka, bisa jadi berbagai program pemerintah di bidang pendidikan tidak akan berjalan dengan baik.

Sebagai keluarga guru, saya bisa merasakan beratnya perjuangan mereka. Apalagi saat pandemi sekarang ini dengan menggunakan metode belajar jarak jauh, bukannya memudahkan, malah membuat guru pontang panting menyiapkan materi pelajaran dan memantau penyerapan materi oleh para muridnya.

Di lingkungan keluarga besar saya, ada 9 orang guru, mulai dari tante, om, kakak, adik, keponakan, dan bahkan istri saya juga seorang guru. Namun, karena hampir semuanya berstatus pegawai negeri, meskipun tidak kaya, penghasilannya relatif memadai. 

Hanya ada seorang keponakan saya yang bersatus GH, yang untungnya masih tinggal besama orang tuanya karena belum berkeluarga. Untung juga ia seorang wanita, sehingga harapannya nanti bisa mendapatkan jodoh yang punya penghasilan memadai.

Tidak terbayang bila si keponakan ini seorang laki-laki, yang kalau saja sudah berumah tangga dan istrinya tidak ikut mencari nafkah, sungguh sangat berat. Dengan honor per bulan hanya beberapa ratus ribu rupiah, jauh di bawah upah minimum regional, sebetulnya bisa dibilang sangat tidak sebanding dengan jerih payahnya.

Jangan heran, banyak GH yang terpaksa melakukan pekerjaan sambilan setelah menunaikan tugasnya sebagai guru. Ada yang menarik ojek motor, menjadi tukang pangkas rambut, membuat dan berjualan kue, menjadi guru privat atau guru bimbingan belajar, dan sebagainya.

Sering pekerjaan sambilan tersebut mendatangkan penghasilan yang lebih besar dari jadi GH. Tapi, tidak ada, atau relatif jarang, mereka yang berniat meninggalkan pekerjaannya sebagai pendidik. Keterikatan batinnya dengan anak didik sudah demikian erat, lebih dari sekadar guru dan murid. Pengabdiannya yang tulus ikhlas, jangan ditanya lagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline