"Xi Jinping menjadi presiden seumur hidup. Dia hebat. Lihatlah, dia bisa melakukan itu. Saya kira ini menarik. Mungkin suatu saat kita boleh juga mencobanya." Demikian ucapan Presiden AS yang gagal terpilih kembali, Donald Trump, terkait kepemimpinan di China, seperti ditulis pada Tajuk Rencana, Kompas, Senin (23/11/2020).
Bila ditelusuri dari berbagai berita terkait kepemimpinan di China, ternyata pada awal Maret 2018 memang ada perubahan dalam periode kekuasaan seorang presiden. Seperti ditulis cnbcindonesia.com (12/3/2018), Badan Legislatif China secara resmi menghapus batas masa jabatan kepresidenan.
Dengan demikian, Presiden China Xi Jinping dimungkinkan menjadi presiden seumur hidup. Hanya ada satu partai di negara tirai bambu itu, yakni Partai Komunis China. Namun, di partai tersebut terdapat dua faksi, yakni faksi populis dan faksi elitis yang disebut juga faksi Jiang Zemin sesuai nama mantan presiden sebelum Xi Jinping.
Sejak menjadi presiden pada 2012 lalu, Xi sudah terlibat dalam pertarungan hidup mati dengan faksi Jiang Zemin, bahkan pada 2017 beredar rumor faksi Jiang Zemin akan melakukan kudeta. Untuk melindungi diri, Xi Jinping menggulirkan beberapa perubahan yang akhirnya memuluskan langkahnya untuk menjadi presiden seumur hidup.
Tentang komentar Trump terhadap Xi, tidak tahu apakah tulus berupa pujian, atau justru sindiran. Seperti diketahui, Trump sendiri gagal untuk terpilih kembali menjadi presiden buat periode keduanya. Trump merasa dicurangi, tapi sudah dapat dipastikan bahwa Trump harus menyerahkan kursinya kepada saingannya Joe Biden.
Tapi, membandingkan sistem pemerintahan di AS, yang mengklaim sebagai kampiun demokrasi dunia, dengan sistem di China yang dari kacamata dunia bukan termasuk negara yang demokratis, jelas sulit dilakukan, tidak apple to apple. Andaipun Trump memenangkan pilpres, maksimal masa kekuasaannya hanya 8 tahun.
Jangan pernah politisi AS bermimpi akan menjadi presiden seumur hidup, kecuali bila ditakdirkan meninggal dunia dalam masa kepresidenannya. Dalam catatan sejarah, ada Presiden AS yang mati tertembak, seperti yang dialami John F Kennedy.
Sistem pemerintahan yang baik seharusnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di negaranya. Pada umumnya, negara demokratis lebih menjamin kesejahteraan tersebut. Sedangkan negara otoriter dianggap akan menyengsarakan rakyat.
Namun, pendapat di atas akhirnya dibalikkan oleh apa yang terjadi di China, yang secara spektakuler muncul menjadi negara superpower baru, yang mengancam dominasi AS di kancah perekonomian global. Tak heran, terjadi rebutan pengaruh di panggung internasional antara AS dan China.
Justru di era Trump lah, kecaman terhadap China demikian vulgar, yang mencerminkan betapa terancamnya AS dan takut negara mitranya berpaling dengan memilih lebih banyak berkolaborasi dengan China.
Maka, bila ukurannya adalah tingkat kesejahteraan atau tingkat pertumbuhan ekonomi, membicarakan demokrasi tidak lagi begitu relevan. Apalagi ada kecenderungan demokrasi di banyak negara, mungkin juga termasuk di AS, akhirnya hanya menguntungkan segelintir mereka yang mempunyai modal besar. Ringkasnya, orang yang punya duit bisa membeli suara rakyat.