Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

BCA Gusur BRI, Pandemi Covid-19 Ubah Peta Perbankan Nasional

Diperbarui: 21 November 2020   03:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. ugm.ac.id

Pandemi Covid-19 telah mengubah peta perbankan nasional. Bank swasta paling terkemuka, yakni Bank Central Asia (BCA), akhirnya berhasil menggusur Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang sudah sejak 15 tahun terakhir selalu bertengger sebagai bank dengan perolehan laba terbesar.

Sebetulnya, keunggulan BCA tidaklah mencengangkan. Memang, tidak seperti BRI dan bank-bank milik BUMN lainnya yang pendapatan utamanya sangat bergantung pada bunga dari kredit yang diberikannya, BCA lebih dominan dalam fee based income (FBI).

Sekadar catatan, pada bisnis perbankan, mengkategorikan pendapatannya pada dua kelompok besar, yakni pendapatan bunga dan pendapatan bukan bunga. FBI teramasuk pendapatan bukan bunga.

Dalam masa pandemi Covid-19 seperti sekarang ini, merupakan masa yang sangat berat bagi banyak sektor usaha, termasuk perbankan. Jelas, uang bank yang disalurkan sebagai kredit kepada para pengusaha, banyak yang macet pengembaliannya. Itulah yang menyebabkan anjloknya pendapatan bunga yang diterima bank, karena pada setiap cicilan pengembalian kredit, terbagi atas cicilan pokok pinjaman dan cicilan bunga.

BRI telah mengumumkan laporan keuangannya posisi September 2020, seperti yang diberitakan sejumlah media massa. Perolehan laba BRI hanya sebesar Rp 14,1 triliun, turun signifikan ketimbang September 2019. Ketika itu, laba BRI Rp 24, 8 triliun. Artinya, perolehan laba BRI saat ini terjun bebas 43,05 persen.

Tidak hanya BRI yang nyungsep, "saudara"-nya sesama bank BUMN sama saja. Bank Mandiri pada waktu yang bersamaan, mengalami penurunan laba sebesar 30,7 persen. Sedangkan yang paling parah adalah Bank Negara Indonesia (BNI), boleh dikatakan "tiarap" karena labanya terpangkas sebesar 63,9 persen.

Adapaun BCA, sebenarnya juga mengalami penurunan, tapi relatif tipis, yakni sebesar 4,2 persen, sehingga perolehan labanya pada September 2020 lalu masih mencapai Rp 20 triliun. Bahwa pandemi menyebabkan kinerja keuangan semua bank memburuk, faktanya seperti itu. Tapi, BCA terlihat mampu mengantisipasinya dengan baik.

Jadi, BCA unggul berkat strategi jangka panjang yang memang sejak lama dirintisnya, yakni memperkuat sisi pelayanan atas transaksi nasabah dengan memanfaatkan teknologi informasi. Sekarang BCA menuai hasilnya, menjadi bank yang paling banyak dipilih orang untuk bertransaksi, dan atas transaksi tersebut sebagian besar bank membebankan FBI kepada nasabah. 

Tarifnya tidak besar, berkisar Rp 1.000 sampai Rp 7.500 per transaksi, tergantung jenis transaksinya. Tapi, bayangkan kalau dalam sehari di sebuah kantor cabang saja terjadi ratusan transaksi, padahal BCA punya ratusan kantor cabang.

Belum lagi kalau dicermati lebih dalam, bank tidak lagi adu banyak jumlah cabang, juga tidak adu banyak jumlah mesin ATM, karena nasabah sekarang lebih suka bertransaksi melalui gawainya saja. Ada yang namanya mobile banking, internet banking, dan sebagainya.

Maka kenyamanan, kemudahan, dan kecepatan pelayanan melalui aplikasi menjadi penting. Di situlah, harus diakui, BCA lebih di depan dibanding bank-bank BUMN, karena memang memulai berinvesatasi dalam teknologi informasi jauh lebih awal. Ibaratnya, BCA mencuri start.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline