Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Kebijakan Pengendalian Pandemi Covid-19, Suara Dokter Semakin Sayup?

Diperbarui: 1 November 2020   00:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. suara.com

Pada awal bencana pandemi Covid-19 melanda negara kita, dalam sosialisasi agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan, sering dikaitkan dengan tugas besar yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Saat itu alat pelindung diri (APD) masih langka. Bahkan, masker susah dicari, yang kalaupun ada, harganya tidak masuk akal.

Maka pada waktu itu slogannya adalah tenaga kesehatan siap membantu warga, tapi tolong warga juga membantu tenaga kesehatan dengan cara berdiam diri di rumah saja. Di televisi sering ditayangkan betapa beratnya perjuangan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya, sehingga apresiasi yang tulus dialamatkan kepada mereka oleh berbagai pihak.

Ringkas kata, ketika itu suara dokter masih lumayan didengar masyarakat. Tapi, seiring dengan terbiasanya masyarakat beraktivitas ketika pandemi masih belum terkendali, suara para dokter semakin sayup terdengar. Paling tidak, itulah yang diungkapkan Djoko Santoso, Guru Besar Ilmu Kedokteran Universitas Airlangga dalam tulisan di Kompas (30/10/2020).

Tulisan Djoko berjudul "Suara Dokter yang Kian Sayup dalam Kebijakan Pandemi".  Betulkah pandemi akan segera berakhir mengingat gencarnya berita persiapan vaksinasi Covid-19? Menurut Djoko, sulit dipahami atas optimisme yang berlebihan masyarakat karena akan adanya vaksin, sehingga banyak yang mengabaikan protokol kesehatan. Hal itu telah menusuk hati para dokter.

Para dokter selalu waswas bila melihat kerumunan warga. Apalagi sekarang ada Pilkada Serentak. Begitu pula dengan adanya libur panjang. Setiap kerumunan berpotensi menambah berat pekerjaan dokter dan tenaga kesehatan lain karena yang terpapar Covid-19 semakin banyak.

Akhirnya tenaga medis yang merupakan "benteng terakhir" juga menjadi korban. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, hingga pertengahan Oktober ini, sudah 136 dokter dan 130 tenaga kesehatan yang meninggal dalam penanganan Covid-19. Ironisnya, berita dokter meninggal yang dulunya bisa menggugah semangat masyarakat untuk lebih waspada, sekarang jadi hal biasa yang tidak menarik perhatian.

Satu hal yang menjadi sorotan tajam Djoko adalah kebijakan yang diambil pemerintah terkesan maju mundur. Struktur organisasi penanganan Covid-19 mengalami perubahan, namun tetap saja, secara komposisi personil, pejabat di luar sektor kesehatan terlihat lebih dominan. 

Tak heran, dalam keputusan berkaitan dengan pembatasan sosial, terjadi tarik ulur. Pertimbangan kesehatan yang disuarakan para dokter bukan menjadi hal utama. Pertimbangan ekonomi, perdagangan, bisnis, dan investasi, lebih mendapat tempat.

Meskipun Djoko tidak menyebut nama, tapi tampaknya yang dimaksud adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang pernah berinisiatif menerapkan kebijakan pembatasan sosial yang ketat untuk mengurangi penularan. 

Sayangnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto langsung reaktif, menyatakan menolak pembatasan sosial ketat. Menurut Airlangga, perekonomian harus jalan dan jangan ada yang membuat panik dengan pembatasan.

Tampaknya, ancaman karena resesi ekonomi lebih mengkhawatirkan ketimbang ancaman karena makin meluasnya pandemi. Celakanya, perekonomian pun kenyataannya masih saja lesu, bahkan negara kita sudah memasuki periode resesi. Sedangkan penambahan pasien positif Covid-19 masih saja terjadi dalam jumlah di atas 3.000 orang setiap harinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline