Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ketika Presiden Jokowi Tanpa Beban Politik, Kenapa Banyak Intrik?

Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. (sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Presiden Joko Widodo atau yang lebih populer dengan nama Jokowi, begitu terpilih kembali menjadi orang nomor 1 di negara kita tercinta ini, bertekad untuk melakukan tugasnya semaksimal mungkin, memberikan yang terbaik bagi kemajuan bangsa. Beliau sudah tidak punya beban politik lagi, karena pada pilpres 2024 tak bisa mencalonkan diri.

Jadi, tarik menarik berbagai kepentingan, baik demi keuntungan partai tertentu atau kelompok usaha tertentu, seharusnya tidak mempengaruhi Jokowi dalam pengambilan keputusan. Satu-satunya yang menjadi pertimbangan adalah kepentingan rakyat banyak.

Maka, begitu dilantik memangku jabatan yang kedua kalinya, 20 Oktober 2019 lalu, publik menduga Jokowi akan ngebut, tancap gas dalam mengeksekusi berbagai program yang telah dicanangkan, termasuk yang dipaparkan sewaktu kampanye pilpres.

Bahwa yang digandeng sebagai wapres adalah seorang sosok yang sama sekali jauh dari perkiraan para pengamat politik, justru semakin menegaskan bahwa Jokowi memang ingin ngebut dalam bekerja. 

KH Ma'ruf Amin diyakini akan setuju sepenuhnya dengan langkah yang diambil Jokowi, berbeda dengan wapres sebelumnya Jusuf Kalla yang terkadang punya gagasan sendiri.

Selain itu, dengan adanya seorang ulama di sisi Jokowi, setidaknya memperlunak kubu "hijau" yang mengatasnamakan berbagai organisasi Islam dalam menyerang kebijakan pemerintah. Seperti diketahui, pada periode pertama Jokowi, cukup sering muncul gangguan dari kelompok yang menamakan dirinya Persaudaraan Alumni 212 (PA 212).

Jokowi semakin di atas angin karena mayoritas anggota parlemen berdiri di barisan partai pengusung Jokowi-Ma'ruf. Apalagi setelah Partai Gerindra meneyeberang masuk kubu pemerintah. Memang seperti kontradiktif, ketika Jokowi tidak punya beban politik, justru beliau menggandeng rival abadinya, Prabowo Subianto.

Boleh dikatakan, apapun kebijakan Jokowi yang memerlukan persetujuan DPR, akan berjalan mulus. Parktis hanya PKS sebagai partai yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi. Belakangan, Demokrat yang awalnya kurang jelas posisinya, mau mendukung Jokowi tapi tak dapat jatah di kabinet, sekarang sepertinya mulai kokoh berdiri di pihak oposisi.

Adapun Partai Amanat Nasional (PAN) merapat ke pihak pemerintah setelah Zulkifli Hasan kembali memimpin dan sekaligus "menendang" Amien Rais. Jika ada reshuffle kabinet, kemungkinan besar wakil PAN ada yang masuk.

Jelaslah, begitu nyata bahwa Jokowi memang tak ada beban politik. Para politisi telah dijinakkan, makanya tidak ada penghalang bagi Jokowi untuk melaju kencang, untuk mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat ke posisi yang lebih tinggi.

Tapi, tak dinyana dan tak diduga, datanglah bencana pandemi yang telah meluluhlantakkan sendi-sendi ekonomi bangsa. Indonesia akhirnya mau tak mau harus mengahadap resesi, dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif selama dua kuartal terakhir secara beturut-turut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline