Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Merger Bank Syariah dan Masyarakat yang Salah Kaprah

Diperbarui: 29 Oktober 2020   14:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. tempo.co

Tiga bank syariah milik tiga bank pemerintah, yakni Bank Syariah Mandiri (BSM, milik Bank Mandiri), Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS, milik BNI), dan Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS, milik BRI), saat ini dalam proses penggabungan atau merger. Diperkirakan pada Februari 2021, bank hasil merger sudah mulai beroperasi, konon akan dinamakan Bank Amanah.

Dengan penggabungan tersebut, tentu Bank Amanah diharapkan akan menjadi sebuah bank besar yang tak kalah dengan bank-bank papan atas di negara kita. Sekarang, 10 bank terbesar nasional dilihat dari sisi aset yang dimiliki, semuanya dikuasai bank konvensional, termasuk 3 bank konvensional milik pemerintah di atas.

Namun demikian, untuk keberhasilan bank syariah di Indonesia, tidak saja memerlukan bank yang berskala besar, tapi juga masih memerlukan sosialisai yang lebih efektif. Meskipun sejak 1991, telah hadir bank syariah pertama, yakni Bank Muamalat, tapi secara umum masih banyak masyarakat yang persepsinya kurang tepat terkait bank syariah.

Tentang bagaimana seharusnya sebuah bank syariah beroperasi, tentu yang dianggap murni sesuai dengan ajaran agama Islam, bukan menjadi topik bahasan tulisan ini. Soalnya, hal itu memerlukan kajian khusus hukum Islam, baik secara tekstual maupun penjabarannya yang tepat dalam konteks saat ini.

Tulisan ini hanya menyoroti bagaimana praktik bank syariah di Indonesia dan bagaimana pula persepsi masyarakat. Itupun berdasarkan pengamatan sekilas, bukan hasil penelitian yang mendalam, sehingga mungkin saja salah dalam menyimpulkannya. Dalam hal ini, paling tidak, ada dua anggapan ekstrim yang boleh dikatakan salah kaprah atau salah persepsi terkait kiprah bank syariah di negara kita. 

Pertama, ada sebagian masyarakat yang memandang bank syariah sebagai bank yang bertolak belakang atau berlawanan dengan bank konvensional. Artinya, jika bank konvensional dianggap "hitam", maka bank syariah adalah "putih". Dengan istilah lain, ini pandangan yang overestimate.

Padahal, pada praktiknya, tak ada bank yang betul-betul hitam (kecuali bank gelap yang illegal) atau bank yang betul-betul putih. Boleh jadi, dilihat dari kacamata ajaran Islam, bank konvensional berwarna abu-abu tua, sedangkan bank syariah abu-abu muda. 

Jangan buru-buru membayangkan para karyawan dan nasabah bank syariah, adalah mereka yang berhasil menampilkan sikap sangat islami. Bahkan, mohon maaf, mungkin dalam bayangan mereka hanya orang berpakaian sesuai syariah saja (seperti berhijab, bergamis, atau bercelana yang menggantung) yang ditemui di sana. Sehingga, mereka yang belum berpenampilan demikian, enggan berurusan dengan bank syariah.

Perlu diketahui, bank syariah melayani masyarakat tanpa membeda-bedakan agamanya. Bahkan, warga non-muslim boleh saja jadi nasabah (termasuk jadi karyawan). Memang banyak yang seperti itu bila melihat bank syariah di luar negeri, seperti di Inggris dan Malaysia.

Sebaiknya jangan memandang bank secara hitam putih, takut nantinya kecewa. Ada karyawan bank konvensional yang tiba-tiba berhenti bekerja dan berharap lebih tenang bila bekerja di bank syariah. Demikian juga nasabah bank konvensional, ada yang menutup semua rekeningnya di bank konvensional dan membuka rekening di bank syariah.

Tidak masalah sebetulnya bagi yang "hijrah " atau mendapatkan "hidayah" seperti itu. Yang namanya manusia, wajar bila move on dari yang abu-abu gelap ke abu-abu terang. Tapi, ya itu tadi, akan kecewa bila mengharapkan bank syariah berwarna putih bersih 100 persen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline