Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Tentang Anak yang Tak akan Pernah Dewasa

Diperbarui: 18 Oktober 2020   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. thechurchinmalta.org, dimuat idntimes.com

Seorang artis, saya lupa namanya, pernah mengatakan dengan bangga, bahwa ia merasakan kasih sayang yang berlimpah  dari orangtuanya. Melalui tayangan televisi yang saya tonton, si artis mengerti bahwa di mata orangtuannya, ia selalu jadi anak-anak , selalu jadi putri kecil, bahkan ketika ia sudah berumah tangga. 

Hal tersebut dipandangnya sebagai hal yang baik-baik saja, sehingga ia tak sungkan bermanja-manja ke ibunya atau ke ayahnya. Ia masih kangen tidur bersama ayah dan ibunya, ingin diceritakan dongeng sebelum tidur. Ia masih ingin dipeluk, dibelai, kalau bisa malah ingin digendong lagi.

Satu hal yang tak terbantahkan, kasih sayang orang tua kepada anak-anaknya berlaku sepanjang hayat. Mungkin karena naluri seperti itulah yang membuat orang tua tanpa sengaja sering lupa, menganggap anaknya masih kecil, yang butuh dinasehati. Terkadang saat si anak sudah menikah, masalah rumah tangga si anak pun, menjadi sasaran nasehat orang tua.

Nasehat dari siapapun, asal dilakukan dengan tulus, tentu tak ada masalah. Tapi, memberi nasehat kepada mereka yang merasa tidak butuh dinasehati, karena merasa apa yang dilakukannya sudah benar, akan mubazir. 

Apalagi bila nasehat dilakukan dengan nyinyir, menggurui, bahkan dengan nada keras seperti mengancam dan mengutuki, ini malah bisa merusak hubungan baik yang telah dibina dengan susah payah.

Tak jarang, anak-anak, termasuk anak yang sudah dewasa, sengaja melanggar nasehat ayah dan ibunya, malah sampai terlibat pertengkaran sengit, karena bosan diceramahi. Si anak seolah menantang dengan mengatakan ia sudah dewasa, jangan diatur-atur lagi. Ia sudah tahu konsekuensi dari perbuatannya dan siap menanggung risiko.

Tapi, begitulah, kalau mengacu pada pengalaman saya sendiri, baik sebagai anak, maupun sebagai ayah, memang ada yang berubah. Cara mendidik anak yang saya terima dari kedua orangtua, tak bisa saya copy and paste kepada anak-anak saya. 

Perbedaan ruang dan waktu telah mengubah banyak hal secara siginifikan, atau mungkin saya saja yang berlebihan menyikapai kehidupan yang tengah saya jalani.

Jangan tanyakan rasa sayang saya kepada tiga orang anak saya, sama dengan sayangnya kedua orangtua saya terhadap saya beserta kakak-kakak dan adik-adik saya. Hanya cara menunjukkan rasa sayang itu yang berbeda. Begitu juga cara anak menyikapinya.

Dulu, mungkin karena belum ada hape, ayah dan ibu saya tak pernah mencemaskan bila saya terlambat pulang malam. Sesampai di rumah, tak ada pertanyaan yang bersifat menyelidiki. Mungkin juga karena tingkat keamanan di kota kecil Payakumbuh, Sumbar, dekade 1970-an relatif aman.

Sekarang, anak-anak saya bukan anak kampung, tapi ia anak kota metropolitan (ada yang menyebut megapolitan) Jakarta. Maka, meskipun anak-anak saya sudah berusia di atas 20 tahun, ada yang masih kuliah, ada yang sudah sarjana, saya tak tahan untuk tidak bertanya, lagi di mana si anak, ketika jam sudah menunjukkan lewat pukul 10 malam, tapi masih di luar rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline