Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Menyoal Biaya Tenaga Kerja, Ketimpangan Penggajian, dan Keterbukaan Perusahaan

Diperbarui: 8 Oktober 2020   07:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi tenaga kerja dalam sebuah perusahaan (Aloysius Jarot Nugroho/Antara)

Disahkannya RUU Cipta Kerja, betul-betul membuat banyak pihak, terutama para pekerja, sangat kecewa. RUU tersebut dituding terlalu berpihak kepada investor dan kurang mengakomodasi aspirasi para pekerja yang dikoordinasi oleh berbagai organisasi serikat pekerja.

Mengingat tulisan yang mengemukakan keberatan dari sisi pekerja sudah banyak tersebar, termasuk di Kompasiana, tak ada salahnya melihat soal ini dari kacamata manajemen perusahaan.

Namun demikian, tulisan ini bisa jadi kurang relevan dengan RUU Cipta Kerja karena pemahaman penulis yang terbatas tentang RUU yang menyulut unjuk rasa di berbagai kota itu. Lagipula, penulis belum membaca RUU Cipta Kerja tersebut secara lengkap.

Tulisan di bawah ini berdasarkan pengalaman penulis berkarier di sebuah perusahaan milik negara dengan jaringan kerja yang sangat luas karena punya kantor cabang di semua kabupaten/kota di seluruh tanah air. Bahkan, masih ada lagi kantor cabang pembantu di tingkat kecamatan.

Tak heran kalau pekerjanya lebih dari 100 ribu orang. Namun, yang berstatus pekerja tetap mungkin sekitar 40 persen saja, sisanya adalah pekerja yang direkrut menggunakan sistem kontrak. Saya tidak tahu persis berapa angka pastinya, karena sekarang saya sudah berstatus purna bakti.

Komposisi pekerja seperti itu sangat berbeda dengan kondisi sampai dekade 1990-an. Ketika itu pekerja yang bertugas sebagai pengemudi kendaraan dinas, pengantar surat, tenaga administrasi rendah, tenaga keamanan atau satpam, semuanya berstatus pekerja tetap. 

Sekarang mereka semuanya pekerja kontrak dengan mekanisme melibatkan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (outsourcing). Artinya, si pekerja kontrak digaji oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, meskipun tugas sehari-harinya di perusahaan milik negara itu. 

Selain itu, pekerja yang levelnya di atas pekerja outsourcing itu, namun masih di bawah level staf, ada pula yang dikontrak langsung oleh perusahaan, tanpa melibatkan pihak penyedia jasa tenaga kerja.

Jika apa yang diberitakan media massa dan disuarakan oleh kelompok pekerja, benar adanya, dengan berlakunya UU Cipta Kerja, nantinya perusahaan akan semakin leluasa menggunakan sistem kontrak dengan para pekerjanya.

Tapi, selain melihat dari sisi pekerja, ada baiknya dilihat pula dari sisi investor dan manajemen perusahaan. Kenapa pihak manajemen perusahaan lebih menyukai menggunakan tenaga kontrak untuk jenis pekerjaan yang bersifat rutinitas?

Jawabannya gampang diduga, ini berkaitan dengan kinerja keuangan atau pencapaian target laba yang dipatok oleh pemegang saham terhadap manajemen puncak, dalam hal ini direksi perusahaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline