Wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang lazim disebut dengan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) melingkupi 3 provinsi. Kalau dipecah lagi dalam kabupaten/kota, mencakup 5 daerah otonom di Jawa Barat, 3 daerah otonom di Banten, dan Jakarta menjadi satu daerah karena 5 wilayah kota plus Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu bukan daerah otonom.
Tapi, meskipun secara administrasi pemerintahan Jabodetabek terpecah-pecah, secara ekonomi, bahkan juga secara sosial, lingkungan hidup, transportasi, dan dalam berbagai aspek kehidupan warganya, Jabodetabek merupakan satu kesatuan. Jangan heran kalau warga Depok lebih merasa sebagai orang Jakarta, ketimbang orang Jawa Barat.
Masyarakat pun secara spontan menyebutkan Universitas Indonesia (UI) sebagai UI Jakarta, bukan UI Depok, Jawa Barat. Demikian pula Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, yang lazim disebut dengan UIN Jakarta. Atau juga Bandara Soekarno-Hatta Tangerang yang disebut sebagai bandaranya Jakarta.
Nah, dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19, seperti diketahui wilayah DKI Jakarta masih memegang rekor tertinggi, di mana setiap harinya terjadi penambahan sekitar 1.000 orang warga DKI yang terpapar sejak sebulan terakhir ini.
Jawa Barat yang sebelumnya relatif lebih baik kondisinya, ternyata sekarang mengikuti jejak DKI dengan sering menempati peringkat ke-2 dilihat dari penambahan pasien positif Covid-19 setiap harinya. Hal ini terjadi sebagian besar karena penambahan pasien baru di Depok, Bogor dan Bekasi. inilah yang membikin gusar Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Maka sang gubernur pun sengaja berkantor di Depok, bukan di Bandung seperti biasanya, mulai Jumat (2/10/2020) kemarin. Tentu harapannya dengan demikian bisa bergerak lebih cepat melihat kondisi di lapangan dan lebih cepat juga mengeluarkan instruksi serta memantau efektivitas pelaksanaannya.
Bahkan, muncul lagi ide Ridwan yang bersifat terobosan karena memandang Jabodetabek sebagai suatu kesatuan. Ide tersebut adalah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19 Se-Jabodetabek. Jelas, dengan keberadaan Satgas Jabodetabek itu diharapkan koordinasi akan lebih gampang dan terjadi sinkronisasi kebijakan serta keseragaman cara pelaksanaan dan pengawasannya.
Koordinasi, memang sesuatu yang mahal selama ini di Jabodetabek. Contoh terakhir, sewaktu Gubernur DKI Jakarta Anies Bawedan mengumumkan Jakarta kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tidak otomatis diikuti oleh kota-kota di sekitar Jakarta. Apalagi ternyata kebijakan Anies tidak begitu didukung oleh pemerintah pusat yang menginginkan pembatasan sosial dalam skala mikro.
Di lain pihak, penerapan jam malam di Depok dan Bogor, tidak diberlakukan di Jakarta. Padahal, mereka yang berkerja di Jakarta, kebanyakan berdomisili di Bogor, Depok, Bekasi dan Tangerang. Jelaslah, tidak gampang memadukan kebijakan antar beberapa daerah otonom, meskipun sama-sama berada di kawasan yang sudah terpadu interaksi mayarakatnya.
Kalau di Jakarta, mereka yang ingin makan-makan di restoran tidak dibolehkan, hanya boleh memesan untuk dibawa pulang, sedangkan di Bekasi hal serupa dibolehkan, maka warga Jakarta akan makan-makan di Bekasi. Sebaliknya, karena di Bogor ada jam malam, warga Bogor memilih menghabiskan malam di Jakarta.
Akhirnya sama-sama tidak efektif. Warga selalu punya cara untuk mencari celah. Bila mereka tidak ketat dalam menerapkan protokol kesehatan, bukan tidak mungkin sesama warga Jabodetaboek saling menulari. Kalau ini yang terjadi, semakin sulit lagi menghentikan laju pandemi.