Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Banjir Saat Pandemi dan Pilkada, Akankah Banjir Bantuan atau Banjir Korban?

Diperbarui: 29 September 2020   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. validnews.id

Melalui percakapan di sebuah grup WA, saya mengetahui bahwa selama bulan September ini, curah hujan yang  tinggi tidak hanya di Jakarta, tapi boleh dikatakan merata di berbagai penjuru tanah air. Paling tidak itulah yang diceritakan teman-teman saya yang tinggal di Bandung, Semarang, Surabaya, Padang, Pekanbaru, dan Medan.

Kalau kondisi di Jakarta, tentu saya merasakan sendiri, betapa sering kalau sudah sore hari, langit mulai mendung, lalu disusul turunnya hujan yang deras. Tapi tak ada hujan pun, warga ibu kota harus selalu waspada karena ada potensi terjadinya banjir kiriman dari Bogor.

Makanya, ketinggian permukaan air di Bendungan Katulampa (nama sebuah kawasan di Bogor) selalu dipantau oleh petugas setiap saat, untuk menentukan apakah dalam tahap aman, siaga III, siaga II, atau yang paling diwaspadai yakni siaga I.

Dari cerita di grup WA tersebut, ada kisah seorang teman yang tinggal di Medan, yang sangat tersiksa bila hujan deras. Jangankan hujan, baru mendung yang membuat langit gelap gulita saja, ia sudah demikian cemas.

Apalagi bila turun hujan disertai bunyi petir berulang-ulang, membuat ia akan lari ke kamar tidurnya dan menutup telinganya dengan bantal. Jika hujan berlangsung pada malam hari, si teman tidak akan bisa tertidur pulas. 

Bisa jadi tidak sedikit orang yang trauma dengan hujan, apalagi kalau mengalami kebanjiran. Saya sendiri pernah terperosok masuk got sedalam sekitar setengah meter. Ketika itu hujan turun, saya berjalan di atas trotoar memakai payung, tapi air sudah tergenang sehingga tidak terlihat ada lubang yang tidak tertutup. Tapi, pengalaman tersebut tidak sampai membuat saya takut yang berlebihan.

Dari yang saya lihat di kawasan Kebon Baru, Jakarta Selatan (yang relatif dekat dari rumah saya di kawasan Tebet), warga setempat karena sudah terbiasa dengan banjir, mereka tidak lagi cemas dan bahkan bisa bercanda dengan tetangganya meskipun air sudah masuk rumah setinggi lutut. Kebon Baru memang dibelah oleh Sungai Ciliwung yang sering meluap di musim hujan.

Masalahnya, jika terjadi banjir, kali ini bukan banjir biasa, karena terjadi saat pandemi Covid-19. Yang sudah diberitakan media massa, antara lain terjadinya banjir bandang di Sukabumi (Jawa Barat) dan banjir di Padang (Sumatera Barat). Kebetulan di kedua daerah tersebut juga disibukkan dengan pilkada serentak.

Bencana banjir di masa pandemi dan sekaligus juga musim pilkada, tentu tak bisa disikapi dengan cara biasa. Apakah sudah ada protokol kesehatan yang khusus di saat banjir? Jika sudah ada, apakah sudah cukup disosialisasikan dan bagaimana mengawasinya saat betul-betul terjadi banjir.

Protokol kesehatan yang hanya ada di atas kertas tanpa diimplementasikan dengan baik, akan sia-sia. Bukankah sewaktu pendaftaran pasangan bakal calon kepala daerah baru-baru ini, kerumunan massa di beberapa daerah, tetap terlihat? Kemudian ada lagi acara dangdutan di Tegal, Jawa Tengah, seolah-olah kondisi sudah normal saja.

Tentang banjir, memang merupakan bencana alam, tapi bukan berarti tidak bisa sama sekali dimitigasi risikonya. Kapan akan terjadi, berkat kemajuan teknologi, sudah bisa diprediksi dengan lebih akurat. Ketertiban manusia dalam memelihara kebersihan dan memperbaiki saluran air, turut menjadi faktor yang memperkecil dampak banjir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline