Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Orangtua Membantu Anaknya Belajar, Seberapa yang Pas Takarannya?

Diperbarui: 23 September 2020   11:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. radarbekasi.id

Orangtua selalu menginginkan anak-anaknya lebih berhasil dari dirinya. Keberhasilan itu memang ada banyak indikatornya, tapi pada umumnya ditandai oleh kesejahteraan yang meningkat. Kunci paling utama untuk kehidupan yang lebih sejahtera adalah melalui pendidikan.

Maka tak heran bila banyak orang tua yang meskipun dulu sekolahnya hanya sampai sekolah menengah, atau bahkan lebih rendah lagi, sangat berhasrat agar semua anak-anaknya bisa meraih gelar sarjana. Tentu sebelum jadi sarjana, harus melewati jenjang SD, SMP dan SMA atau SMK.

Memang tidak ada jaminan dengan gelar sarjana urusan mencari pekerjaan menjadi lebih gampang. Namun, paling tidak, ada peluang untuk berkerja di sektor formal dengan tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Walaupun akibatnya, gejala urbanisasi meningkat pesat dan pekerjaan menjadi petani dan nelayan tidak lagi diminati karena dianggap tidak cocok untuk sarjana.

Berbicara soal pendidikan, secara umum berkaitan erat dengan kemajuan yang dialami negara kita. Sejak Indonesia merdeka hingga awal periode orde baru di akhir dekade 1960-an, mereka yang berhasil meraih titel sarjana, sangat sedikit.

Tidak banyak di era jadul itu orangtua yang hidup berkecukupan yang mampu menguliahkan anaknya. Bisa makan tiga kali sehari, membeli pakaian setiap lebaran, dan menutupi kebutuhan dasar lainnya, sudah dianggap bagus. Ironisnya, barangkali karena tidak ada hiburan seperti televisi, dan belum ada program keluarga berencana dari pemerintah, rata-rata sebuah keluarga punya anak yang banyak, di atas 5 orang.

Tapi seiring dengan kemajuan ekonomi Indonesia, pasangan yang menikah setelah 1970-an, mulai banyak yang menerapkan program keluarga berencana, dengan hanya memiliki anak tiga orang saja. Dengan anak yang lebih sedikit, perhatian orangtua pada masing-masing anak, termasuk keberhasilannya di sekolah, menjadi lebih baik.

Namun demikian, anak-anak yang lahir pada dekade 1970-an tersebut tidak dibantu oleh orangtuanya dalam mengerjakan PR yang diminta gurunya di sekolah. Bukan apa-apa, karena tingkat pendidikan orangtua yang relatif rendah, maka anak-anaknya lebih mengandalkan belajar di sekolah dan menyelesaikan sendiri PR-nya, atau belajar berkelompok dengan teman-temannya.

Jangan heran, generasi kelahiran 1970-an tersebut mencari sekolah sendiri, mendaftar untuk kuliah sendiri, dan orangtua hanya tinggal memberikan uang. Tahu-tahu anak-anaknya sudah jadi sarjana (tentu generasi ini menjadi sarjana di periode 1990-an). Lalu orangtua pun bangga, bercerita kepada temannya di kelompok pengajian atau di pasar, bahwa tiga orang anaknya sudah jadi sarjana semua.

Anak-anaknya pun (tentu setelah jadi sarjana, tidak pantas lagi disebut anak-anak), mencari pekerjaan sendiri, kebanyakan dengan merantau ke kota yang lebih besar. Melihat iklan di koran tentang lowongan pekerjaan, menyebar surat lamaran kerja, ikut seleksi, menjadi ritual mereka yang baru lulus dari perguruan tinggi.

Bagi yang beruntung diterima di sebuah instansi atau perusahaan, mereka mulai berkarir, menyongsong masa depan yang cemerlang. Maka terjadilah transformasi sosial, sebuah peningkatan status, berasal dari keluarga yang hidup pas-pasan, membentuk generasi baru yang lebih terdidik dan sejahtera.

Setelah itu, tentu mereka menikah dengan pujaan hatinya untuk membentuk keluarga yang bahagia (sekarang lebih sering disebut dalam bahasa Arab, keluarga yang sakinah mawaddah warahmah). Sama dengan orangtuanya, mereka juga ikut keluarga berencana dengan punya anak dua atau tiga orang saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline