Hanya dua buah berita kecil, tapi menarik perhatian saya, karena sama-sama berkaitan dengan kebakaran yang menghanguskan gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta Selatan, 22 Agustus 2020 lalu. Kedua berita tersebut terdapat di harian Kompas, 15 September 2020.
Berita pertama nyempil di halaman 2 bagian kiri bawah. Isinya, untuk membangun kembali gedung utama Kejagung, dibutuhkan biaya Rp 400 miliar sesuai usulan Kejaksaan Agung. Hal ini terungkap saat rapat antara Komisi III DPR dan Kejagung, Senin, 14 Sepetember 2020. Satu berita lagi, sebetulnya bukan berita, tapi surat pembaca, yang menyayangkan gedung Kejagung yang terbakar ternyata tidak diasuransikan.
Sekiranya gedung tersebut tidak buru-buru dibangun kembali, tentu akan mengganggu kelancaran tugas pokok Kejagung. Atas usulan tersebut di atas, Komisi III DPR tidak keberatan. Adapun berkaitan dengan penyelidikan penyebab kebakaran, masih belum tuntas dilakukan oleh pihak kepolisian, masih menunggu hasil analisis dari laboratorium forensik.
Tidak perlu kaget bila beredar spekulasi di masyarakat bahwa kebakaran itu mungkin berkaitan dengan beberapa peristiwa besar yang sedang ditangani Kejagung. Misalnya kasus korupsi di perusahaan asuransi milik negara, Jiwasraya, atau berkaitan dengan kasus Djoko Tjandra yang juga menyeret pejabat Kejagung sendiri, Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Mudah-mudahan saja pihak kepolisian segera mengumumkan hasil penyelidikannya, agar spekulasi yang berkembang bisa diakhiri. Kemudian soal pembangunan kembali gedung Kejagung, bisa jadi akan menuai kritik dari sejumlah pihak, karena dinilai memakan anggaran yang relatif besar.
Seandainya saja pihak Kejagung telah mengasuransikan gedungnya, tentu akan mendapat penggantian kembali atau lazim disebut dengan klaim, oleh pihak asuransi yang menjadi rekanan.
Harus diakui, secara umum masyarakat kita masih belum insurance minded. Bahwa ada pengecualian untuk kalangan tertentu, tidaklah menghilangkan kesan itu, bahwa kita belum begitu memahami arti penting asuransi. Kalah jauh dengan pemahaman masyarakat tentang pentingnya membuka rekening di bank.
Dapat kita bayangkan, bila pemerintah saja, dalam hal ini Kejagung sebagai contoh, tidak mengasuransikan asetnya berupa gedung, apalagi masyarakat umum, terutama kelas menengah ke bawah, belum tertarik mengasuransikan rumahnya, tokonya, atau gedung lain tempat mereka berusaha.
Tentu ini menjadi tantangan yang harus dijawab oleh asosiasi yang menaungi perusahaan asuransi, maupun masing-masing perusahaan asuransi. Yang dimaksudkan di sini adalah asuransi kerugian, yang didalamnya termasuk asuransi kebakaran. Adapun asuransi jiwa, asuransi kesehatan, maupun asuransi pendidikan, tampaknya sedikit lebih baik dibandingkan asuransi kerugian.
Memang, bisa jadi premi yang harus dibayarkan nasabah masih relatif mahal. Pihak asuransi sebaiknya melakukan berbagai penghematan dalam biaya operasionalnya, namun sambil lebih gencar melakukan sosialisasi, agar premi yang harus dibayar nasabah lebih rendah. Logikanya, bila nasabah yang dihimpun lebih banyak, premi per nasabah bisa diturunkan.
Selain itu, ada persepsi keliru dari sebagian masyarakat, bahwa ikut asuransi kebakaran tersebut merugikan. Soalnya, bila dalam jangka waktu yang diperjanjikan, tidak terjadi kebakaran, maka premi yang dibayarkan akan hilang begitu saja.