Ayah saya, pada umur sekitar 75 tahun, pernah ditemukan berjalan kaki sekitar 10 km dari rumah beliau di Payakumbuh, Sumbar, tanpa mengenal jalan pulang ke rumah. Untung saja, kakak saya yang memang tinggal bersama ayah berhasil menemukan dan segera mengajak pulang.
Ibu mertua saya, juga pada usia sekitar 75 tahun, beberapa kali tersesat seperti yang dialami ayah saya di atas, tapi kejadiannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Akhirnya karena ada orang lain yang bisa membantu, si ibu bisa pulang ke rumah kakak ipar saya, tempat beliau tinggal setelah ayah mertua saya meninggal dunia.
Kakak ipar saya terpaksa mengambil tindakan keras, selama ia mengajar (profesinya seorang guru SMK Negeri) dan kalau lagi tidak ada asisten rumah tangga, si ibu dikuncikan dari luar, sehingga tak bisa membuka pintu untuk keluar rumah. Padahal beliau sangat suka berjalan kaki di sekitar rumah.
Secara umum, ayah saya dan juga ibu mertua, dikatakan orang lain sudah mengalami kepikunan. Tidak ada dari kami, anak dan cucunya, yang merasa itu sesuatu yang ganjil. Orang seusia 70-an tahun ke atas, sudah dimaklumi kalau pikun, sudah waktunya.
Namun dari berita di Kompas (5/9/2020), saya mendapatkan pencerahan, bahwa tidak semua orang tua akan mengalami kepikunan, meskipun kepikunan memang bagian dari penuaan. Gaya hidup sehat sejak muda, stimulasi otak, hingga pikiran positif dan menghindari stres bisa mengurangi risiko pikun.
Masalah kepikunan atau hal lain yang berkaitan dengan kesehatan kaum lanjut usia (lansia) sangat relevan untuk mendapat perhatian dari masyarakat, mengingat dalam komposisi penduduk negara kita, terdapat kecenderungan semakin meningkatnya persentase lansia.
Dalam istilah medis, kepikunan disebut dengan damensia. Adapun definisinya adalah kumpulan gejala gangguan kognitif dan perilaku yang mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan seseorang. Gangguan itu mencakup hilangnya memori, perubahan suasana hati, serta munculnya masalah dalam komunikasi dan penalaran.
Gejala itu muncul karena otak mengalami kerusakan akibat penyakit atau kondisi tertentu, seperti penyakit alzheimer, yakni penyakit fisik yang memengaruhi otak. Damensia juga bisa terjadi karena stroke otak. Sayangnya, hingga saat ini belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan damensia.
Karena tidak ada obat itulah, mencegah menjadi hal yang sangat perlu dilakukan yang harus dimulai sejak berusia muda. Stimulasi otak dengan membiasakan diri selalu belajar, berpikir, berdiskusi, membaca, menulis, diyakini menjadi cara yang bagus untuk menghindari atau memperlambat datangnya damensia.
Banyak orang yang setelah memasuki masa pensiun, sudah malas membaca buku, bahkan membaca koran yang sifatnya lebih santai, juga malas. Akibatnya stimulasi otak menjadi berkurang.
Maka tidak salah bila para pembaca atau penulis di Kompasiana, meneladani kompasianer senior, Tjiptadinata Effendi, yang konsisten menulis hingga di usia beliau yang sudah 77 tahun. Inilah salah satu kunci kenapa daya ingat beliau masih kuat.