Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Kisah "Kucing-Anjing" dan Keteladanan Berbahasa Lisan dalam Keluarga

Diperbarui: 10 September 2020   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. shutterstock, melalui kompas.com

Entah apa salah anjing, hewan yang satu ini laris dijadikan kata umpatan. Tidak saja anjing dibawa-bawa ketika seseorang mengumpat temannya, umpamanya dengan mengatakan "anjing, lu" atau dalam versi anak gaul disebut "anjay",  tetapi ada orang yang "menganjingkan kucing".

Begini ceritanya. Suatu kali, seorang anak lagi lahap menikmati makan siang di rumahnya, dengan menu nasi dan ayam goreng. Karena si anak mau membuang ingus, ia tinggalkan sejenak makanannya di atas meja makan. Eh, ketika ia kembali lagi dengan niat mau menghabiskan makanannya, ayam gorengnya sudah berada dilantai, lagi dimakan kucing tak diundang, yang sering main di rumahnya.

Maka meledaklah kemarahan si anak. Spontan ia memaki; "dasar kuncing anjing". Maksudnya si kucing itu punya perangai jelek sehingga disebut kucing anjing. Jelas bahwa si anak yang umurnya seusia anak SMP itu terbiasa mengumpat dengan menganjingkan siapapun, termasuk kucing, yang membuatnya kesal, karena melihat contoh dari orang lain, terutama di lingkungan keluarganya sendiri.

Kebetulan si anak memang lahir dan dibesarkan dalam keluarga yang terbiasa berbicara kasar, kurang sopan dilihat dari kaca mata keluarga lain yang tidak biasa mengumpat. Jadi, bila seorang anak berbicara tanpa mengindahkan sopan santun, jangan langsung salahkan si anak, sangat mungkin itu terjadi karena orang tuanya tidak mampu menjadi teladan yang baik dalam berbahasa lisan.

Selain itu, tentu lingkungan pergaulan di sekolah, kampus, atau tetangga, juga berpengaruh pada gaya berbicara seseorang. Memaki dengan membawa nama binatang (tidak selalu anjing, meskipun anjing lah yang paling sering), pada lingkup pertemanan tertentu, bisa saja dianggap sebagai tanda keakraban. Namun demikian, secara umum hal ini sebaiknya tidak menjadi kebiasaan.

Jangankan membawa-bawa nama binatang, menggunakan kata ganti orang pertama dan kedua saja, setiap etnis sudah punya standar yang dianggap sopan. Di kalangan orang Minang, menggunakan aden sebagai kata ganti orang pertama dan wa'ang (untuk laki-laki) atau kau (untuk wanita) sebagai kata ganti orang kedua, dinilai kasar. Hanya para preman di pasar atau terminal yang biasa menggunakannya.

Yang lebih halus adalah menggunakan ambo atau dengan menyebut nama panggilan diri sendiri (dalam hal lawan bicara sudah dikenal baik) sebagai kata ganti orang pertama. Sedangkan untuk kata ganti orang kedua tergantung usia lawan bicara, bisa menggunakan pak, buk, kakak, abang, uda (kakak laki-laki) uni (kakak perempuan), adiak (adik), atau menyebut nama panggilan lawan bicara untuk teman akrab yang usianya relatif sama.

Nah, pembiasaan menyebut  nama panggilan tersebut, tentu saja bermula dari keluarga, saat orang tua mengajak anaknya yang masih bayi berbicara. Soalnya, bila nanti si anak sudah dewasa, sungguh sulit mengubah kebiasaan yang buruk menjadi kebiasaan yang baik. Padahal, dari cara seseorang berbicara dengan lawan bicaranya, sudah bisa ditebak level sopan santunnya.

Tingkat sopan santun tersebut diyakini berkorelasi pula dengan kesehatan mental seseorang, meskipun tidak bersifat mutlak, mengingat ada orang yang sopan tapi pintar menipu. Orang yang lebih matang secara sosial dan spiritual, cenderung lebih dipercaya, sehingga di tempat kerjanya pun, kariernya bisa berjalan dengan relatif baik.

Sedangkan orang yang terbiasa bersosialisasi secara kasar, meskipun dengan dalih bercanda atau untuk menjalin keakraban, kelihatannya hanya bisa diterima dengan baik di lingkungan terbatas, yang memang di sana berlaku "hukum" siapa yang lebih keras bicaranya akan lebih didengar. Contohnya di lingkungan pekerja informal di pasar, terminal, pelabuhan, dan kawasan hiburan malam.

Jadi, berkaitan dengan berita pelarangan penggunaan kata yang dinilai kasar  seperti anjay, diduga tidak akan berjalan secara efektif, karena sulit juga mengawasinya. Sedangkan anak-anak atau remaja yang menggunakannya, biasanya melakukan secara spontan, hasil dari apa yang dilihatnya dari keluarganya dan lingkungan pergaulannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline