Keputusan pemerintah untuk tetap melakukan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak pada 9 Desember 2020 mendatang tak urung menimbulkan kekhawatiran sebagian masyarakat yang takut akan terjadinya kerumunan massa --yang pada gilirannya berpotensi menularkan Covid-19.
Memang, sesuai ketentuan yang sekarang berlaku, kewenangan untuk menunda Pilkada, tidak berada di tangan pemerintah semata-mata, namun harus diputuskan secara bersama dengan DPR dan KPU.
Akan tetapi tanpa bermaksud mengecilkan kekuatan DPR dan KPU, pemerintah lah yang paling kuat posisinya, mengingat DPR dihuni banyak anggota yang berasal dari parpol pendukung pemerintah. Adapun KPU, jika pemerintah dan DPR sudah sepakat, kecil kemungkinan akan tidak sependapat.
Bisa jadi pemerintah telah berhitung dengan matang, bahwa dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, potensi risiko di atas bisa dicegah. Di lain pihak disadari pentingnya pilkada untuk menjamin kesinambungan pembangunan di seluruh daerah, melalui kepemimpinan hasil pilihan rakyat.
Seperti yang ditulis Kompas dalam Tajuk Rencana (24/8/2020), hadirnya kepala daerah yang memiliki integritas, kapabilitas, dan totalitas memikirkan rakyat, bukan dirinya sendiri, menjadi vital. Pemimpin yang seperti itulah yang diharapkan akan terpilih pada pilkada serentak nanti.
Masalahnya, harapan tersebut harus disambut oleh partai politik (parpol) dengan semangat yang sama. Parpol perlu menunjukkan perannya untuk melahirkan pimpinan terbaik di negeri ini, dengan mengusung calon yang memiliki integritas, kapabilitas, dan totalitas itu tadi. Jangan malah menjagokan eks koruptor, hanya karena mau memberi mahar yang menggiurkan.
Calon yang sudah mengeluarkan mahar politik kepada parpol pengusung, akan berupaya membeli suara rakyat dengan menerapkan politik uang, tentu dengan berbagai cara agar tidak terjerat sebagai pelanggaran yang diawasi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Nah, terlepas dari apakah biaya si calon ada yang mencukongi atau memakai dana sendiri, yang jelas, bila nantinya terpilih menjadi kepala daerah, berkemungkinan besar akan menggunakan kekausaannya untuk mengeruk uang, agar modal kembali, dan bahkan bisa surplus. Kalau mengandalkan gaji sebagai kepala daerah, tidak akan pulang modal.
Maka akhirnya tidak heran kalau sudah banyak gubernur, wali kota, dan bupati, yang tersandung kasus korupsi. Dari referensi yang ada, per 7 Oktober 2019 saja, sudah sebanyak 119 orang kepala daerah yang terkena kasus korupsi (kompas.com, 8/10/2019).
Celakanya, menurut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), mantan narapidana dimungkinkan mengajukan diri menjadi calon kepala daerah, dengan menunggu masa jeda selama 5 tahun, setelah menjalani masa pidana penjara berdasarkan putusan yang inkracht (putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap). Tentu hal ini juga berlaku bagi mantan terpidana kasus korupsi.
Peluang tersebut tidak perlu dikhawatirkan masyarakat, sekiranya tidak ada parpol yang mau mengusung mantan terpidana kasus korupsi untuk bertarung di pilkada. Untuk maju dari jalur independen dengan mengumpulkan foto kopi kartu tanda penduduk (KTP) warga sampai batas minimal tertentu, akan berat bagi calon yang pernah terjerat kasus korupsi.