Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Ejaan yang Disempurnakan Berlaku Sejak 18 Agustus 1972, Hasil Kompromi dengan Malaysia

Diperbarui: 18 Agustus 2020   18:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. porosilmu.com

Sebagai seorang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), saya merasa lucu ketika mulai 18 Agustus 1972, pemerintah meresmikan berlakunya Ejaan yang Disempurnakan (EYD) sebagai pedoman dalam menulis. 

Untung saja nama saya Irwan Rinaldi, tak perlu diubah gara-gara EYD. Tapi teman yang duduk satu meja dengan saya (satu meja untuk dua orang murid), yang tadinya menulis namanya dengan Budjang, harus disempurnakan jadi Bujang. Ketika itu terasa lucu, karena teman-teman lain masih melafazkan Bujang dengan Buyang. 

Kalau dilihat dari konteks saat ini, tentu tidak lucu lagi. Soalnya, hanya dalam hitungan satu atau dua bulan setelah diresmikan, masyarakat sudah terbiasa dengan penggunaan EYD. Hal itu antara lain didukung oleh tertibnya media cetak dalam memakai EYD.

Namun demikian, sampai satu atau dua tahun kemudian, masih banyak papan nama kantor, rambu-rambu di jalan raya, yang masih merupakan peninggalan era sebelum EYD. Tentu hal ini terkait dengan biaya yang tidak sedikit bila semua itu langsung diganti seketika. Biasanya, bila papan nama itu sudah terlihat kusam, baru diganti.

Maka saya yang tinggal di dekat stasiun kereta api di Payakumbuh, Sumatera Barat, selalu melihat tulisan "Pajakumbuh, +571 m" di beberapa tempat di stasiun itu. 571 m itu maksudnya ketinggian kota Payakumbuh 571 meter di atas permukaan laut. 

Sayang sekali, sejak akhir dekade 1970-an, kereta api tidak lagi beroperasi di Payakumbuh, dan gedung stasiun telah berganti fungsi sebagai tempat berdagang.

Baik, apa saja ejaan yang berubah dengan diberlakukannya EYD? Pertama, tj menjadi c. Tjontoh menjadi contoh. Kedua, dj menjadi j, sehingga Djakarta diubah ejaannya menjadi Jakarta. Ketiga, j menjadi y, seperti pada tulisan sajang diubah menjadi sayang. Keempat, nj menjadi ny, sehingga bernjanji menjadi bernyanyi. Kelima, sj menjadi sy, contohnya sjarat menjadi syarat. Keenam, ch menjadi kh, seperti terlihat pada achir menjadi akhir.

Ketika EYD baru diberlakukan, menurut pemerintah, salah satu tujuannya adalah untuk efisiensi. Bila diteliti lagi, memang terlihat unsur penghematan jumlah huruf, tapi hanya untuk butir pertama dan kedua di atas, dari dua huruf menjadi satu huruf. Untuk empat butir berikutnya, tidak ada penghematan, dari dua huruf tetap saja menjadi dua huruf. 

Jadi, kalaupun terjadi penghematan  pada pemakaian kertas, sebetulnya tidak terlalu signifikan. Pada media cetak misalnya, dengan adanya penghematan tersebut, tentu tersedia space yang berlebih yang bisa dimanfaatkan untuk iklan atau untuk menulis berita lain.

Sebenarnya bukan tujuan penghematan yang paling utama. EYD merupakan hasil kompromi antara pihak yang punya kewenangan di Indonesia dan di Malaysia. Dengan demikian, antar dua bangsa serumpun dan sama-sama menggunakan bahasa nasional yang berasal dari bahasa Melayu, terdapat ejaan yang sama.

Kebetulan saya masih ingat waktu SD dulu sering pula membaca koran bekas asal Malaysia yang dijadikan pembungkus bahan dapur yang dibeli ibu saya di pasar. Banyak hal aneh yang saya temukan, dalam arti berbeda ejaannya dengan yang berlaku di negara kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline