Berbicara tentang bantuan sosial (bansos), tentu bukan monopoli bantuan dari pemerintah saja, yang ditujukan buat masyarakat yang layak menerimanya akibat berbagai hal, khususnya saat ini sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Pihak perusahaan pun, baik BUMN, BUMD, maupun swasta, juga banyak yang melakukan hal serupa, sebagai perwujudan pelaksanaan program corporate social responsibilities (CSR) di masing-masing perusahaan. Bahkan, tidak sedikit pula bansos yang diberikan oleh perorangan dalam berbagai bentuk, bisa berupa sembako, makanan siap santap, maupun uang tunai.
Namun konteks tulisan ini, bansos dimaksud terbatas pada kegiatan CSR. Itupun berawal dari cerita salah seorang teman saya, sama-sama pernah bekerja di BUMN yang sama. Sekarang kami sudah memasuki masa pensiun. Hanya saja, karena saat terakhir bertugas, teman saya belum memegang jabatan apapun, istilahnya di sana disebut sebagai "pelaksana", maka jumlah pesiun bulanannya berkisar di angka Rp 2 juta-an.
Rupanya karena bencana pandemi, CSR di BUMN tempat dulu saya bekerja, melakukan pendataan, siapa saja pensiunan golongan bawah yang layak dibantu. Tapi ini bukan bantuan yang bersifat konsumtif, karena anggapannya pemerintah sudah memberikan yang seperti itu.
Si penerima harus punya usaha dan usahanya itu terbukti lagi terhenti karena bencana pandemi. Jadi, CSR yang diberikan dalam bentuk uang harus dibelikan si penerima untuk bahan baku (bila ia seorang pengrajin, atau ada produksi kecil-kecilan seperti membuat makanan, pakaian), atau membeli barang dagang (bila ia seorang pedagang).
Nah, teman saya ini pas sekali dengan kriteria yang dicari oleh petugas CSR di atas. Teman saya pernah punya usaha menerima order percetakan dengan menerima pesanan dari beberapa kantor cabang BUMN tempat dulu kami bekerja.
Umpamanya, dalam sebulan ia dapat pesanan dari sebuah kantor cabang mencetak ribuan lembar formulir model tertentu. Nilai pesanannya sekitar Rp 7-8 juta.
Si teman ini hanya perantara, lalu ia datang ke Pasar Senen, di mana seorang temannya bisa mencetak sesuai permintaannya, hanya dengan biaya Rp 5-6 juta. Maka selisihnya sebesar Rp 2 juta, menjadi keuntungan teman saya.
Setelah diwawancara oleh petugas CSR, teman saya dinilai layak menerima bantuan Rp 9 juta. Ini bukan pinjaman bergulir, si teman tidak perlu mengembalikan, cukup nanti membuktikan bahwa ia telah membeli berbagai peralatan untuk usahanya.
Masalahnya, teman saya merasa uang CSR tersebut lebih tepat untuk membeli beras, pakaian, dan hal lain yang bersifat konsumtif. Eh, gak taunya, seminggu setelah menerima bantuan, teman saya diminta menyerahkan kuitansi tanda pembelian barang yang dipakai untuk keperluan usahanya. Ini penting sebagai pertanggungjawaban si petugas kepada atasannya dan juga kalau nanti diaudit oleh Satuan Audit Intern di BUMN itu.
Maka kelabakanlah teman saya itu. Untung saja ia berhasil, entah bagaimana caranya, mendapatkan selembar kuitansi fiktif pembelian sebuah laptop. Karena di kuitansi jelas tertera nama, tanda tangan dan stempel toko penerima uang, maka secara formal sudah dianggap memenuhi syarat, sehingga bisa diterima oleh petugas CSR. Teman saya merasa plong, walaupun berbohong.