Berbicara tentang kemerdekaan sebuah bangsa, Indonesia adalah salah satu contoh yang terdepan untuk negara-negara Asia Afrika. Saat sebagian besar negara lain masih berada di bawah penjajahan salah satu negara Eropa, Indonesia sudah lebih dahulu memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Tetangga kita saja sebagai misal, Malaysia, baru 12 tahun kemudian, berhasil meraih kemerdekaannya dari tangan penjajah Inggris. Apalagi negara-negara Afrika, kebanyakan baru merdeka di dekade 1960-an.
Prestasi Indonesia menjadi demikian membanggakan kalau mengingat betapa heterogennya bangsa kita yang terdiri dari banyak sekali suku atau etnis. Agama yang dianut juga berbeda-beda. Apalagi budaya dan bahasa.
Toh semuanya berhasil dipersatukan sehingga perjuangan melepaskan diri dari belenggu penjajah menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Tak masalah dengan senjata yang hanya bermodalkan bambu runcing. Justru semangat persatuan lah yang lebih penting.
"Tanpa semangat kebangsaan, di kepulauan Nusantara ini akan ada puluhan, mungkin ratusan, negara kecil," kata Presiden ke-3 BJ Habibie, seperti dikutip dari Kompas (16/8/2020).
Tetapi, lebih awal merdeka tidak otomatis lebih cepat menjadi negara maju. Kemerdekaan yang direbut dengan mengorbankan banyak sekali nyawa para pejuang, hanyalah jembatan emas untuk tujuan yang sampai sekarang masih dalam proses untuk diwujudkan, yakni terciptanya kondisi yang adil dan makmur di negara kita tercinta ini.
Maka di mata banyak pengamat, kita disebut belum lagi merdeka. Maksudnya belum merdeka dari kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan sebagainya. Belum lagi kalau kita membicarakan nasib saudara-saudara kita yang diberi label suku terasing.
Banyak pernyataan retorik yang dilantangkan para pengkritik yang intinya mempertanyakan kemerdekaan kita, yang baru pada level formal ketatanegaraan. Namun, subsatansinya, dengan ketergantungan kita pada modal asing, barang-barang asing, dan keahlian tenaga kerja asing, dianggap sebagai masih berada di bawah cengkeraman "penjajah" versi baru.
Bahkan ada lagi fenomena lain yang meresahkan. Persatuan yang dengan susah payah kita pupuk berdasarkan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila dan prinsip Bhineka Tunggal Ika, beberapa tahun terakhir ini terancam terbelah karena berbagai sebab. Mulai dari gara-gara pemilihan presiden, hingga dimunculkannya isu mayoritas-minoritas. Betul-betul rawan bagi keutuhan bangsa.
Di tengah ancaman yang menggoyahkan persatuan tersebut, muncul lagi bencana baru, bencana yang berskala dunia, yakni pandemi Covid-19. Inilah yang sekarang merampas kemerdekaan kita.
Maka kita pun tidak lagi merdeka bergerak secara fisik karena adanya pembatasan sosial. Banyak di antara kita yang sebelumnya masih bekerja dan menerima gaji, sekarang kehilangan pekerjaan dan hanya berharap bantuan sosial dari pemerintah atau dari para dermawan.