Menarik membaca berita di harian Kompas, Senin (3/8/2020) lalu, berkaitan dengan kinerja keuangan maskapai penerbangan Garuda Indonesia. Judulnya sudah informatif, "Merugi Rp 10,34 Triliun, Garuda: Ini Titik Terendah".
Jelas bahwa berita di atas bukan hal yang menggembirakan, justru membuat kita prihatin, meskipun faktor penyebabnya sudah dapat diduga, yakni karena dampak pandemi Covid-19. Menurut pihak manajemen Garuda, pencapaian pada semester I 2020 ini, merupakan kinerja yang terendah sepanjang sejarah.
Tentu saja kita tak perlu meragukan data statistik Garuda. Bisa jadi memang itulah kerugian terbesar yang pernah dideritanya. Penyebabnya pun juga sudah sangat jelas, karena masyarakat sangat dibatasi pergerakannya, sehingga sangat sedikit penumpang pesawat terbang.
Itupun Garuda sudah terbantu karena adanya pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal. Artinya, tanpa ada penerbangan carteran, angka kerugian Garuda menjadi jauh lebih besar.
Padahal, jauh sebelum pandemi, sebetulnya Garuda sudah menjadi bulan-bulanan media massa gara-gara laporan keuangan pada tahun buku 2018 yang "disulap". Seharusnya merugi sebesar Rp 2,45 triliun, namun disajikan seolah-olah memperoleh keuntungan Rp 70 miliar (cnbcindonesia.com, 29/7/2019).
Tentu saja hal ini berkat "kerjasama" dengan akuntan publik (AP) yang mengaudit laporan keuangan Garuda. Seperti dilansir dari kontan.co.id (28/6/2019), AP yang menjadi auditor Garuda ketika itu adalah Kasner Sirumapea dari Kantor Akuntan Publik (KAP) Tanubrata, Sutanto, Fahmi, Bambang dan Rekan. Kasner akhirnya dijatuhi sanksi pembekuan izin selama 12 bulan oleh Kementerian Keuangan.
Selain itu, Garuda juga diterpa kasus yang memalukan berkaitan dengan penyelundupan sepeda motor Harley Davidson dan suku cadangnya serta penyelundupan sepeda Brompton.
Ada lagi berita tidak sedap seputar dugaan perselingkuhan antara direktur utama Garuda yang telah dicopot pada 2019 lalu, Ari Ashkara, dengan seorang pramugari cantik (tribunnews.com, 9/12/2019).
Maka sebetulnya, direktur utama Garuda saat ini, Irfan Setiaputra, sangat diharapkan mampu memikul beban berat untuk memulihkan kondisi keuangan di maskapai penerbangan paling terkemuka di negara kita itu. Sayangnya, belum lama Irfan bertugas, pandemi pun melanda tanah air.
Masalahnya adalah, apakah betul-betul Garuda sudah di titik terendah? Kalau sudah, alhamdulillah, karena setelah itu, cepat atau lambat, grafiknya akan naik kembali. Memang begitulah siklus bisnis, ketika perusahaan masih eksis di saat betul-betul terpuruk, maka setelah itu akan muncul tahap recovery.
Tapi siapa yang bisa menjamin bahwa ini sudah merupakan titik terendah? Bukankah pandemi di negara kita belum memperlihatkan tanda-tanda akan segera berakhir?